05 - The Playboy

501 503 172
                                    

Aku berjalan menyusuri koridor dengan kurang bersemangat. Entah mengapa, hari-hari dalam minggu ini berlangsung begitu lambat. Semua terjadi di luar ekspektasi dan terasa sangat menyebalkan.

Mulai dari pembagian kelas yang tidak adil, terjebak mengikuti kelas filsafat selama satu semester penuh, lalu terakhir-yang paling mengerikan-dikuntit oleh orang aneh. Yah, aku baru sadar betapa malangnya nasibku belakangan ini dan bagusnya aku juga mulai mengasihani diriku sendiri.

Setelah melewati lorong pertama, aku berbelok menuju lokerku untuk menaruh pakaian ganti karena pelajaran olahraga Mr. Paul diundur sehabis jam makan siang nanti. Namun, gerakan tanganku terhenti waktu melihat pintu lokerku sudah sedikit terbuka. Ternyata aku lupa menguncinya saat pulang sekolah kemarin-kebiasaan burukku, ceroboh. Tetapi yang mengherankan, pagi ini lokerku tampak lebih sesak dari biasanya.

Aku tertegun bingung ketika tahu-tahu menemukan sebuah buket bunga tulip di dalamnya. Tidak ada nama dari sang pengirim. Hanya ada sepucuk surat kecil yang bertuliskan namaku dengan huruf tegak bersambung. Bunga ini terlihat masih segar dan harum. Itu berarti ada seseorang yang belum lama menaruhnya di sini.

Tapi, siapa yang sudah memberikan bunga ini padaku? Apa tidak salah orang? Aku tidak sedang berulang tahun dan hari ini juga bukan Hari Valentine. Lagi pula, kalau memang benar Hari Valentine juga aku 'kan tidak punya pacar.

"Wow ... bungamu cantik sekali, Kathleen," puji Jillian yang juga terlihat hendak memasukkan barang bawaannya ke dalam loker. "Hadiah dari pacarmu?"

"Ah, bukan. Justru aku sendiri tidak tahu siapa yang sudah menaruhnya di sini."

"Benarkah?"

"Yeah," balasku. "Apa pagi ini kau sempat melihat ada orang lain yang membuka lokerku?"

Ia mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala. "Entahlah, aku sejak tadi ada di dalam kelas karena harus menyelesaikan catatan biologiku."

"Ohh."

"Mungkin itu dari salah satu penggemar rahasiamu. Bisa jadi, bukan?" tebaknya sedikit bergurau.

Aku hanya tersenyum tipis.

"Kathleennn!" Natalie tiba-tiba saja berlari keluar dari ruang kelasnya sembari meneriakkan namaku. "Di mana gadis itu? Apa kalian melihatnya?"

"Hei, aku di sini. Kau kenapa?" sahutku keheranan.

Ia langsung menghampiriku dengan napas yang terengah-engah. "Ini gawat!"

"Gawat apanya?"

"Sesuatu yang benar-benar gawat!"

"Aku tidak mengerti. Kau sedang membicarakan apa?"

Arlene yang baru datang dari arah koridor pun mendadak ikut berteriak panik padaku. "Kathleen, cepat kau sembunyi!"

"Ya ampun ... kalian berdua ini kenapa, sih?"

"Dia sudah kembali!" Natalie berseru.

"Apa maksudmu? Siapa yang kembali?" tanyaku yang semakin bingung.

"Kau tidak tahu kabar terbaru hari ini?"

Aku mengerjap beberapa kali sembari berusaha mencerna ucapan mereka. "Memangnya ada kabar apa? Aku belum sempat membuka ponselku pagi ini."

"Kalau begitu kau tunggu apa lagi? Cepat lihat!" desak Natalie. Ia menyibak rambutnya dengan gelisah.

Aku mengerutkan kening kemudian merogoh saku celanaku sambil berdecak heran. Namun, ketika aku baru ingin menyalakan ponsel, suara bising dan gaduh yang berasal dari belokan tangga membuat perhatian kami otomatis teralihkan. Suara itu perlahan-lahan terdengar merayap ke posisi tempatku sedang berdiri.

The DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang