Hari ini kelas terakhirku selesai pada pukul tiga sore-lebih awal karena kegiatan ekstrakurikuler baru akan dimulai pekan depan. Aku bertemu Arlene dan Natalie saat hendak melangkah keluar dari gedung sekolah. Teringat dengan ucapan Natalie waktu di kafetaria, aku pun segera menghampirinya untuk menagih janji.
"Hai, Guys!" sapaku seraya merangkul pundak keduanya. "Kalian belum pulang?"
"Yeah, aku sedang menunggu sepupuku. Dia masih ada di kelas seni. Mrs. Lindsey sedang melakukan pengambilan nilai tugas tadi," kata Arlene. Ia membuka kemasan biskuit cokelatnya lalu menawarkan camilan kesukaannya itu padaku.
Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih. Kau makan saja."
"Okey."
"Umm, teman-teman, ngomong-ngomong soal tugas ... sepertinya aku harus pulang sekarang. Hari ini aku baru ingat kalau tugasku juga ternyata lumayan banyak. Sampai jumpa!" sambung Natalie yang justru berusaha kabur dariku.
"Eits, tunggu dulu!" Aku menarik tas serut yang disandangnya. "Kau buru-buru sekali, mau pergi ke mana? Kelihatannya kita berdua masih punya urusan yang belum selesai."
Ia cuma nyengir.
"Kemarin aku sudah tanda tangan di daftar anggota kelas filsafat milik Mr. Osborne. Jadi, kapan kau mau menepati janjimu?"
"Janji?" kelitnya, berlagak bingung.
"Ah, aku tahu kau pasti ingin menanyakan tentang William, 'kan?" Arlene tiba-tiba menyela pembicaraan kami dengan antusias.
"Loh, kau tahu dari mana?"
Matanya yang berwarna hazel kemudian melirik ke arah Natalie. "Dia yang bilang kalau kau naksir cowok itu sejak pada pandangan pertama."
Natalie langsung menyikut pinggang Arlene. "Jangan bilang kataku, Gadis pintar!"
"Wah!" Aku bersedekap sambil memicingkan mata padanya. "Kau mengatakan hal konyol itu?"
"Tapi, aku benar, 'kan? Kalau kau memang tidak menyukainya, mana mungkin kau rela mendaftar di kelas filsafat."
"Aku cuma penasaran. Sudah kubilang kemarin."
"Asal kau tahu saja, Kathleen." Ia menegakkan badan sembari membuat gestur mengingatkan. "Kau harus percaya padaku. Penasaran adalah awal mula dari munculnya perasaan."
"Kata siapa? Kau jangan mengada-ada," balasku skeptis.
"Aku tidak mengada-ada! Itu adalah fakta. Dan sebagai sahabat yang baik, aku hanya ingin memberitahumu agar kau bisa lebih berhati-hati."
"Oh, ya?"
"Yeah. But, anyway ... setelah kupikir-pikir lagi tidak masalah juga sih kalau kau memang benaran menyukai William, asalkan dia bukan buaya darat, alias cowok playboy atau badboy kayak yang lain."
"Hei, harus berapa kali kubilang? Aku ... aku tidak menyukainya!" protesku lagi, namun entah mengapa lidahku mendadak kelu ketika mengatakannya.
"Apa aku perlu berbicara dengan William secara empat mata? Siapa tahu dia juga naksir denganmu."
"Kau gila, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Destiny
Fiksi RemajaKathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar! Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suk...