Gadis berambut sebahu itu menjejalkan kapas di ke dua lubang telinganya secara diam-diam. Ketika mendapati dirinya dipanggil ke ruang makan, ia sudah mengira ini akan terjadi.
Dengan segala kecerdikan dan kelicikannya, gadis itu menyelipkan beberapa lembar kapas ke dalam saku celana denim yang dipakainya -untuk berjaga-jaga jikalau acara lomba pidato itu berlangsung lama. Dan benar saja ini berlangsung lama. Ia bosan dan kesal mendapat petuah panjang lebar dari ayah dan ibunya.
Kepala cantiknya kini tengah berpikir, apa semua orang tua memang suka mengomel? Suka marah-marah? Suka bicara panjang lebar dan lama mengenai berbagai topik? Dari topik A, meluncur ke topik Z. Kasihan mereka, bicara panjang lebar pasti menguras tenaga. Tapi ia sendiri tidak berniat menuruti tuntutan mereka, tidak mengiyakan keinginan mereka untuk berubah, berubah, berubah.
Memang Maisya harus berubah jadi apa? Ia bukan Power Rangers yang bisa berubah begitu saja lalu memiliki kekuatan listrik yang super. Bukan juga Hulk yang bisa berubah menjadi besar dan hijau ketika marah. Bukan pula Iron-Man yang punya baju besi berwarna merah. Mana bisa Maisya berubah seperti itu.
Perubahan bukanlah suatu hal yang Maisya sukai. Meski hidupnya selalu dipenuhi dengan berbagai perubahan dari takdir. Ah, memang siapa yang menyukai perubahan? Siapa yang bisa melawan kehendak Maha Kuasa yang memegang kendali poros Bumi?
"Maisya! Kamu dengerin Papa gak sih?" tanya Haqqi sambil berkacak pinggang. Menatap putrinya dengan kesal karena dari tadi gadis itu hanya bergeming di tempatnya.
Maisya memutar bola mata, menghembuskan napas kasar. Sebuah pertanda bahwa ia benar-benar bosan. "Iya, denger. Kapasnya gak bikin aku tuli kok." katanya dengan santai sambil mengeluarkan gumpalan kapas itu dari telinganya.
"Lihat, 'kan? Kelakuan anakmu ini. Kenapa sih dia susah banget kalo dibilangin sama orang tua? Apa susahnya nurut coba? Mau sampai kapan kamu begini terus? Kamu tuh udah kelas 12, sebentar lagi UN. Kamu gak mau lulus apa?" kini Nausya yang bersuara. Setelah lelah menjelaskan berbagai ayat Al Quran mengenai bagaimana seharusnya seorang perempuan muslim bersikap, kini ia mengungkit kembali tentang status putrinya itu.
"Ya mau, Ma. Tapi tenang aja kali, kalo gak lulus kasih aja kepala sekolah uang. Papa banyak uang, Ma. Jangan cemas." sahut Maisya tanpa dosanya.
Nausya memijit pelipisnya sambil memejamkan mata, "Kamu bener-bener anak yang ...." ucapannya menggantung, ia lalu tersenyum lebar dengan terpaksa pada anak gadis itu. "Sholehah." lanjutnya. Nausya tahu ucapan adalah doa, jadi ia tak ingin berucap buruk bahkan saat marah sekali pun, sebisa mungkin ia tahan.
Sementara Haqqi sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Maisya begitu sulit untuk diberitahu. Sulit diatur dan sulit dikendalikan. Sempat terpikir bahwa Haqqi telah gagal mendidik anak gadisnya itu, betapa sulitnya mengendalikan Maisya dan segala ulah berontaknya, segala ulah yang ... MasyaAllah. Haqqi bahkan sampai kehilangan kata-kata saking SHOLEHAH-nya gadis itu.
Maisya adalah duplikatnya Haqqi.
Nausya duduk di depan anak gadisnya yang tengah duduk manis di kursi dan tangannya bersedekap rapi di atas meja makan. Dari pergerakan tubuhnya memang terlihat gadis itu mendengarkan dengan baik, tapi siapa yang tahu isi hati dan kepalanya?
"Mama tanya sama kamu, besar nanti kamu mau jadi apa?"
"Umm ...." Maisya tampak berpikir keras. "Presiden, mungkin?" jawabnya setelah beberapa saat berpikir.
"Kenapa kamu mau jadi presiden? Dan apa yang harus kamu lakukan agar bisa jadi presiden?"
"Kalo aku jadi presiden, bakal aku ubah semua peraturan di sekolah. Siswa boleh tidur di kelas, boleh makan di kelas, boleh datang terlambat, boleh tawuran demi keadilan, boleh-"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTRUISTIK [On Going]
RomanceMasa lalu sang ayah membuat Maisya Laily Syamma jengah berada di rumah sebab hadirnya seorang Ranna Rabisha Syamma, sepupu yang tiba-tiba menjadi adiknya dan menjadi objek yang selalu dibandingkan dengan dirinya. Jiwa pemberontak yang sudah melekat...