Altruistik 11 | Temu

97 68 95
                                    

"Saya Zafran." Ujarnya, membuat gadis yang memakai kerudung warna beige itu menoleh ke belakang dengan terkejut.

"Saya pemilik ponsel yang tempo hari tertinggal di Albar kafe." Lanjut Zafran untuk meyakinkan gadis muda yang kini tengah memandang ke arah Zafran dengan tatapan tajam.

Zafran telah memastikan bahwa dialah gadis yang menyimpan ponselnya selama ini. Perjalanan bisnis ke Dubai membuatnya tidak bisa mengambil ponsel itu sesuai yang dijanjikan. Ia bahkan hampir melupakan benda itu kalau saja Rafis tidak mengingatkan bahwa ponsel yang ia khususkan untuk menghubungi keluarga sedang ada di tangan orang.

Bisa-bisanya ia sangat teledor. Belum genap dua bulan ia membeli ponsel itu, ia sengaja ingin memisahkan urusan bisnis dan urusan keluarga serta orang-orang terdekatnya. Tapi kalau tahu akan begini ujungnya, ia tidak akan melakukan itu. Ia sendiri lupa bahwa dirinya orang yang pelupa.

Gadis itu berjalan mendekati Zafran, menyerahkan benda pipih berwarna abu padanya tanpa berkata sepatah kata pun dan berlalu pergi. Perempuan itu bahkan tidak menatap Zafran sama sekali.

Seumur hidup, baru kali ini ia mendapati sikap dingin dari perempuan. Tidak ada tatapan memuja pada wajahnya, kagum pada penampilannya, atau bahkan terpesona dengan wujudnya. Dia benar-benar datar.

"Terima kasih." Kata Zafran, berharap perempuan itu mau bicara dengannya. Tapi tidak, ia hanya berhenti melangkah, menengok ke arah Zafran dan mengangguk.

Merasa urusannya sudah selesai, Zafran berbalik arah dan pulang. Ia tidak ingin memikirkan kenapa respon perempuan itu sangat dingin terhadapnya, tidak tertarik seperti kebanyakan perempuan yang hiperbola ketika melihat parasnya.

Mungkin gadis itu menjaga pandangan.

Gadis yang lugu dan cantik. Gumam Zafran tanpa sadar disertai senyum tipis di bibirnya.

______


Merebahkan dirinya ke kasur, Maisya menatap langit-langit dengan tatapan redup. Pening di kepalanya belum mereda. Ia teringat percakapan dengan Kalila sore tadi mengenai kuliah.

"May, sayang prestasi kamu selama ini kalo cuman jadi kenangan aja. Kamu bisa masuk universitas mana pun yang kamu mau. Ayo, May. Masih belum terlambat."

Kalila cemberut sambil menatap laptopnya. Sesekali ia meminum jus jambu di hadapannya. Sementara Maisya dengan pikirannya melalang buana. Bimbang apakah harus mengambil kesempatan itu atau tidak.

Maisya sangat ingin kuliah seperti teman-temannya yang lain. Mereka sibuk mengejar impian mereka. Terlihat sangat ambisius dengan tujuan dan cita-citanya. Ia pun memiliki cita-cita ingin menjadi desainer.

Banyak hal yang ingin ia wujudkan. Namun mengingat keadaan sekarang, dengan uang yang serba pas-pasan Maisya berpikir ulang. Beribu kali bertanya pada diri sendiri haruskah ia mengambil kesempatan itu. Haruskah ia nekat dan maju.

"Aku bingung biayanya nanti, Kal. Ini aja buat kebutuhan sehari-hari, aku agak keteteran." Keluh Maisya akhirnya jujur.

Kalila menghela napas, "Maisya, sejak kapan kamu tidak percaya diri? Tawakal aja, May. Yakin kan Allah bakal kasih kamu jalan? Kamu ngomong kayak orang gak punya Tuhan aja." Maisya mendelik mendengar itu. Tidak biasanya Kalila sarkas. Atau mungkin, sudah lama mereka tidak bicara dengan sarkas.

"Lagian, sekalipun Indonesia tahu bahwa kamu putri dari keluarga Syamma, gak menutup kemungkinan kamu bisa dapet beasiswa. Orang kamu pinter, banyak prestasi lagi."

ALTRUISTIK  [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang