Kini, Aini sedang menghadap ke arah rumah besar yang gelap gulita. Tidak ada satu pun lampu yang menyala di sana. Pasalnya, Mas Bambang, sopir Aini, memberhentikan mobil di depan bangunan itu. Apakah ini rumahnya? Aini tidak yakin akan hal ini. Seingat gadis itu, Mas Bambang dan Bi Rina, asisten di rumahnya, selalu sigap mengisi token listrik ketika hampir habis. Aini masih mematung di luar pagar. Dia merasa takut untuk masuk.
"Neng, kenapa nggak masuk?" ujar Mas Bambang yang baru turun dari mobil. Aini menjadi kaget. Bulu kuduknya berdiri.
"Takut, Mas ...." Aini sedikit memelas. Mas Bambang hanya terbahak. Lelaki itu segera mebuka pagar lalu menemani Aini masuk. Mobil masih terparkir di luar pagar. Langit senja telah tergantikan oleh kelamnya malam yang sangat mendukung kegelapan yang tengah dihadapi Aini.
"Surprise!" teriak semua orang yang ada di rumah itu saat Mas Bambang membuka pintu. Seketika, suasana menjadi terang. Aini masih bergeming. Kaget bercampur kesal, senang, dan haru bergejolak dalam hatinya.
Sang ibu mendekat dan menyentuh bahunya. Gadis itu hanya melirik sedikt. Dia menunjukkan wajah kesal. Tak terasa, bulir bening mulai keluar dari matanya. Aini segera berlari ke kamar tanpa memedulikan wanita yang tadi menyentuh.
Suasana di ruangan tersebut menjadi canggung, seolah ada es besar yang hadir di sana. Acara ulang tahun kedelapan belas yang telah direncanakan menjadi buyar. Kue ulang tahun besar yang telah dibeli dengan penuh perjuangan itu berakhir dengan dianggurkan. Ibu Aini runtuh dan menangis tersedu.
Sementara itu, Aini masih menangis di kamar. Dia masih menggunakan baju yang sama ketika pulang dari kampus. Kekesalan sudah memuncak. Entah apa yang dia rasakan. Perasaannya tidak menentu. Barang-barang sudah tidak berada di tempat seharusnya. Gadis itu hanya menangis hingga dihampiri rasa lelah. Kemudian, jatuh tertidur.
***
Siang itu, Aini melangkahkan kaki ke masjid. Entah mengapa, dia ingin berkunjung ke sana. Bukan untuk melihat Aldo, melainkan hanya berdiam diri. Ada yang berbeda pada kunjungannya ke masjid kampus kali ini, yaitu ada Klara dan Safiiyyah yang menemani.
"Ai, abdi wudu heula, nya? Mumpung ke masjid, mau sekalian salat Duha." Ya, Safiyyah memang selalu melaksanakan salat sunah dua rakaat itu. Wlaupun jadwal kuliah sangat padat, dia selalu menyempatkan diri melaksanakan salat Duha. Kedua sahabatnya mengangguk. Kemudian, mereka berpisah di halaman masjid. Safiyyah menuju ke tempat wudu akhwat, sedangkan Aini dan Klara langsung menuju area saf akhwat.
Teteh Berhati Malaikat? Kebetulan macam apa ini? Kenapa setiap aku sedang resah, aku selalu tidak sengaja bertemu dengannya? batin Aini saat sedang duduk di tempat yang sama seperti ketika dia pertama kali berdiam di masjid. Hatinya seperti ingin melompat. Serasa ada angin segar yang menyapa saat Syafa lewat tepat di depannya.
Jumlah kata: 431 kata
*Terjemahan:
Abdi wudu heula, nya? = aku wudu dulu, ya?
Huaa, alhamdulillah masih sempet update. Lagi-lagi dan terus akan kuucapkan terima kasih kepada kalian, para pembaca. Sungguh, saya nggak nyangka memiliki kalian. Eh, kalian bukan milik saya, deng, tapi milik Allah, hehe. Maaf, banyak sekali kekurangan di sini begitu pun pada part sebelumnya. Kalau kalian merasakan yang hal sama seperti Aini atau sekadar ingin berbagi cerita, penuhi kolom komentar, dong. Saya selalu siap mendengarkan, eh membaca, insya Allah. Selamat membaca dan menyelami kembali~~Salam hangat selalu~~
*Special thank's for Kak Leci Seira~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Puluh Hari Menjadi Lebih Baik
Ficção AdolescentePernahkah kalian mengejar cinta seseorang? Bahkan, sampai merasa kelelahan karena itu? Itulah yang dilakukan Aini Nururrahim, seorang mahasiswi tingkat dua di salah satu universitas di Kota Kembang. Dengan cara apa pun, ia rela mendapatkan perhatian...