Artara's 41st (3)

20K 1.9K 42
                                    

Artara's anniversarynya kebanyakan ye? Duh maafin :'3
Enjoy!

*****

"Mama, kok bi--"

"Kamu ngapain ketemu dia lagi?"

"Bukannya Mama udah baik-baik aja? Malah kadang terlihat akrab sama di--"

"Ya, kamu ngapain ketemu sama dia lagi? Biar aku aja yang urusan sama dia. Kamu nggak usah ikut-ikut--"

"Lho? Yang seharusnya berurusan sama dia, justru Papa. Papa yang harusnya bertanggung ja--"

"Dulu, kan, aku udah ikhlas kamu mau pergi. Ya, pergi aja. Kenapa dulu ngotot mau tetep di sini?"

Luna berjongkok di ujung tangga. Mengintip. Mama tampak membuka-buka majalah tanpa menghiraukan Papa yang menatapnya lekat-lekat. Mereka tidak berteriak-teriak, Mama hanya menggigit bagian dalam pipinya sesekali, menyamarkan pecah di suaranya sekaligus menahan bendungan air mata yang mungkin saja dapat pecah sewaktu-waktu.

"Ma, untuk kerja di dunia bisnis, besar kemungkinan Papa ketemu dia. Jangan mencampurkan urusan pekerjaan dengan pri--"

"Aku tau, kok. Aku juga pernah resign mendadak dari pekerjaanku sebagai panggilan jiwa," gumam Mama, masih berkutat dengan majalahnya. "Dan lagi, karena aku yang ribut sendiri mengurusi rumah tanggaku yang sangat berantakan, ada satu nyawa melayang--"

Papa memeluk Mama dari samping. Menghapus jarak antara mereka, mengusap-usap punggung Mama yang bergetar hebat.

"Bukan salahmu. Kalau kamu masih merasa bersalah karena itu, itu sama sekali di luar kehendakmu."

"Terus kenapa kamu masih ketemu sama wanita itu? Pengorbananku kurang apa?! Gimana Zahira? Raka? Kamu nggak tau gimana mereka melewa--"

Luna berjengit ketika kedua bahunya ditarik seseorang. Orang itu menariknya menjauh sambil menutup kedua telinga Luna sampai mereka berada di pintu kamar Luna. Tanpa menghiraukan Raka yang hendak membuka mulut, ia berlari ke dalam kamar. 

Luna menarik koper yang berada di bagian bawah lemari. Memasukkan baju-bajunya berikut barang-barang penting lainnya. Raka hanya bersandar di kusen pintu, melihat adiknya menggigit bagian dalam pipinya adalah hal terakhir yang ingin dia lihat selama ini.

"Gue mau ikut sama lo ke Aussi," gumam Luna dengan rahang terkatup. "Gue kesel sama Papa. Bisanya bikin Mama khawatir sama kecewa. Gue nyesel bangga sama Pa--" gerakan Luna terhenti disertai kalimatnya yang terpotong. Gemuruh emosinya meledak-ledak dan menggigit bagian dalam pipinya seperti biasa ternyata sudah tidak mempan lagi.

"Kopernya nggak muaaaat!" Keluhnya disertai tangisan yang pecah. Tangisan yang disertai isakan memilukan.

Raka terkekeh pelan, menyadari adiknya tengah mencoba menutupi rasa kecewanya. Ia merengkuh Luna dan mengusap-usap rambutnya dengan pelan.

"Bilang kalo lo nangis karena kecewa. Bilang kalo lo nangis karena keluarga kita yang nggak baik-baik aja. Udah saatnya lo berhenti nahan tangis. Udah saatnya lo buka benteng yang lo buat," lirih Raka. "Biarin Abang masuk. Akan lebih baik lo nangis di depan Abang daripada nangis sendirian di benteng kokoh itu tanpa siapa-siapa."

*****

Adrian menatap backstage yang kini dipenuhi anak-anak ADC. Di luar sana, terdengar marching band tengah mengalunkan musik. Kali ini, ia dan beberapa panitia lain bertugas untuk memastikan semua siswa yang akan turun mengisi acara hari ini telah berkumpul. Ia melirik beberapa anak yang akan menampilkan traditional dance tengah duduk di depan cermin, mematut diri mereka sendiri.

The Ex [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang