Sabtu ini Juna sudah berjanji akan mengantarkan Diandra pulang. Mereka memang jarang sekali terlihat pulang pergi bersama. Apalagi karena Diandra anak OSIS yang hampir setiap hari pulang sore. Entah untuk mengurusi OSIS, kelasnya, ataupun mengurusi Olimpiade Kimia yang akan ia hadapi. Jadilah Juna harus mengalah untuk 'LDR'.
Juna menyusuri koridor lantai dua. Matanya terantuk pada sepasang cowok cewek yang tengah berjalan menyebrangi lapangan. Akhir-akhir ini, Luna dan Arvin tampak dekat. Bukan, bukan dekat seperti biasanya. Selain itu, Adrian juga hampir tidak tampak berada di sekitar cewek itu. Ada gejolak yang baru di sana, dan lagi-lagi ia benci karena harus merasa peduli.
Ia membuka pintu ruang kelas XI IPA 1. Ruangan yang tampak sepi. Hanya terdengar suara-suara kelas tetangga. Ia tersenyum melihat seorang cewek dengan cardigan hitam tengah duduk di bangku paling depan.
"Udah selesai, nih, urusan sticky notes-nya?"
Diandra mendongak dan menepuk bangku di sebelahnya. Mengisyaratkan Juna untuk duduk. Cewek itu membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Kenapa, sih, lo mau ngelakuin itu buat dia? Padahal, sikapnya gitu banget," tanya Juna.
Diandra tersenyum tipis. "Lo nggak kenal Luna dengan baik."
Juna menaikkan sebelah alisnya.
"Gue pernah ngajarin dia. Gue tau dia cepet nangkep yang gue ajarin. Asal dia mau, asal dia usaha, dia itu pinter."
"Terus, maksudnya you dont have to be a doctor if you dont want to?"
Diandra terkekeh pelan. Ia menggeleng menyadari bahwa ternyata Juna tidaklah begitu mengenal cewek yang pada kenyataannya masih dihatinya.
"Gue pernah liat Luna main piano. Dari caranya main, dia bisa jadi musisi terkenal. Bakat seperti itu, nggak akan dia sia-siakan. Dia mencintainya."
Juna tersenyum tipis. Ada rasa kagum yang terselip ketika mendengar Diandra dengan besar hati memuji Luna.
"Yuk, cabut!" Ajak Juna sambil beranjak.
Diandra menenteng ranselnya. Tangannya masih bertumpu pada meja, menatap punggung Juna yang menghilang di balik pintu.
"Lo mungkin kenal dan lebih deket sama Luna. Tapi, ternyata gue yang tau sikapnya sebenernya gimana."
*****
Luna melipat seragam cheersnya. Baru saja ia tahu kalau hari ini kegiatan ekskul ditiadakan karena sekolah punya acara resmi lain.
"Males pulang, Vin," ujarnya sambil bersandar pada pintu loker.
"Ya udah, mau ke mana?"
Mereka berjalan menyusuri koridor loker dan menyebrangi lapangan.
"Eh, Vano masih gangguin lo nggak?"
Luna menggeleng. Tampak tidak begitu bersemangat."Bagus, deh. Kalo gitu kan gue udah nggak harus jadi backing-an lo," cibir Arvin, mencoba memancing emosi Luna.
Tapi tampaknya cewek itu akan tetap diam dan sesekali mengulas senyum paksa. Ia memang benar-benar ada masalah kali ini. Biasanya, Luna akan memukul lengannya. Tidak keras, namun cukup menunjukkan bahwa yang berjalan di sisinya adalah Luna.
Sampai di tempat parkir, Luna bersandar di salah satu kap mobil sementara Arvin tengah mengeluarkan motornya. Ia melemparkan helm pada Luna dan untung saja cewek itu masih sadar untuk sekedar menangkapnya.
Dan pemandangan itu, lewat begitu saja. Sementara Luna hanya tersenyum kecut ketika Diandra melambaikan tangan padanya. Hingga cowok yang bersama Diandra memakai helm fullface-nya dan ikut melambai pada Luna. Mau tidak mau, Luna harus mengakui. Ada yang tiba-tiba hilang, lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex [Completed]
Roman pour Adolescents"Masih doyan flashback? Norak. Kenangan itu adanya di belakang. Kalau kangen, lirik aja lewat spion. Nggak usah repot-repot nengok apalagi puter balik. Itu bahaya buat diri lo sendiri," kata Bang Raka. Start : Januari 2015 End : 17 Juli 2017