(Ir)replaceable

23.8K 2.2K 81
                                    

Pagi ini Luna berangkat lebih awal dari biasanya. Pastinya, karena ia tidak ingin ditinggal Raka, kakaknya yang setiap pagi mengoceh karena ia tidak sempat juga berangkat dengan ceweknya. Meskipun mau, Luna tetap harus adu mulut dengan Raka. Benar-benar merepotkan seisi rumah demi mendengar suara mereka yang bersahut-sahutan.

"Cie, alamat, nih!" Suara Deris tiba-tiba menyentakkan Luna dari lamunannya. Segera gadis itu melepas earphone yang terpasang di telinga.

"Apaan?"

Deris mengedik pada kursi sebelah Luna yang masih kosong. Ia baru sadar kalau meskipun ia berangkat pagi, ternyata tetap saja tidak ada yang duduk di sebelahnya. Jelas dia tau kenapa, pasti anak-anak kelas sengaja menyisakan bangku di sebelahnya untuk Juna.

"Kampret lo pada!" Umpatnya.

Namun, setelah bell masuk berbunyi, Juna belum juga datang. Hampir setengah jam pelajaran berlangsung, cowok itu baru masuk kelas.

Luna menutup mulutnya ketika melihat cowok itu tampak berantakan. Rambutnya lebih acak-acakan dari biasanya. Lebam-lebam diwajahnya dan ujung bibirnya yang sedikit sobek, membuat Luna bergidik ngeri. Tidak mungkin ada tawuran sepagi ini. Lalu, Juna kenapa?

"Kamu pikir ini sekolah nenek kamu?!" Tanya Bu Wanda sembari berkacak pinggang.

Juna tersenyum miring, "Nenek saya dulu alumni sini, Bu."

Jawaban Juna mengundang tawa seisi kelas, kecuali Luna. Ia bisa melihat Juna meringis kesakitan setelah mengucapkan kalimat tadi.

"KE-LU-AR!"

Juna mengangguk. Matanya tiba-tiba menatap Luna sekilas, kemudian beralih untuk keluar dari kelas. Luna mengerjapkan mata. Bagaimanapun....

"Bu, saya pusing. Boleh ke UKS?"

*****

Luna mengobati luka-luka itu dengan sabar dan sesekali meringis. Dulu, setiap Juna mendapat masalah seperti ini, ia akan marah-marah dan berbicara tentang masa depan yang akan menjadi imbas dari kenakalan cowok ini. Tapi sekarang, Luna hanya diam. Ia bahkan harus memaksa cowok itu untuk mau dia bawa ke UKS.

"Sebenernya, lo kenapa?" Tanyanya.

"Lo masih inget Varo?"

Luna tersentak sebentar. Varo, mantannya sebelum Juna. Jelas Luna masih ingat.

"Dia ngehajar lo?"

Juna menatap lurus ke depan. "Gue yang nonjok dia duluan."

"Kenapa?"

Juna menyentuh sudut bibirnya yang sobek. Masih terasa sakit.

"Jangan mikir gue nonjok dia karena lo. Pokoknya, ada alasan lain," jawab Juna dingin.

Luna menelan ludah mendengar nada bicara itu. Tiba-tiba rasa sesak itu muncul. Disertai pertanyaan tentang salahnya. Apa salahnya sampai Juna begitu padanya? Salah kalau sampai saat ini ia belum bisa move on dari Juna?

"Mending lo cepet nyari yang lain," tambah Juna sebelum keluar dari UKS, "Gue risih diceng-cengin anak kelas sama lo. Gue punya cewek, paling nggak, bilang sama temen-temen lo buat jaga perasaan cewek gue," tandasnya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Luna.

Cewek itu terdiam. Kalimat Juna menggema di telinganya. Ia tidak pernah menangis karena cowok. Ia tidak akan menangis karena cowok. Ia tidak akan menangis.

Pelan, Luna membaringkan tubuhnya di bed UKS yang menjadi tempatnya duduk dengan Juna tadi. Ia menghadap ke tembok. Memejamkan mata dan sesekali menarik napas berat. Ia mengernyitkan dahi dan menggigit bagian dalam pipinya kuat-kuat. Ternyata sakit hati itu begini. Rasanya begitu menyesakkan.

The Ex [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang