Double Ex

31.7K 2.5K 31
                                    

Luna mengencangkan tali sepatunya. Sesekali melempar senyum pada siswa lain yang mengenalnya. Dengan langkah cepat, ia menaiki tangga terakhir menuju ke lantai di mana kelasnya berada. Kelas tampak sudah ramai dan anak-anak yang biasa nongkrong di depan kelasnya sekedar untuk menyapa Luna telah raib. Itu berarti....

Teeeeet.

Suara bell berbunyi seolah menjadi pacunya untuk cepat-cepat sampai di kelas. Ia harus mendapatkan bangku favoritnya, bangku baris ketiga di dekat jendela. Namun begitu sampai di pintu kelas, bahunya turun seketika. Sudah ada yang menempati bangku di sebelah bangku favoritnya. Masalahnya orang itu adalah Juna. Mereka memang sudah biasa duduk berdua, tapi sejak putus kemarin, tidak lagi. Sekarang, Luna tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau harus mengenyahkan segala rasa sakit untuk sekedar mengucapkan permisi.

"Boleh duduk sebelah lo?"

Juna yang sedang tertidur di meja sontak terbangun. Ia mengangguk dan berdiri, mempersilakan Luna masuk.

There it goes....

Tidak ada percakapan sama sekali. Keduanya sama-sama diam sampai Bu Naya, guru Matematika, masuk ke kelas.

Luna mendesah pelan. Ia tidak suka matematika, memusingkan. Mungkin sebuah kesalahan dalam memilih jurusan waktu masuk SMA dulu. Harusnya ia memilih IPS. Pasti tidak melulu berkutat dengan angka dan logika yang bukan bakatnya.

Luna memasang earset yang tertutup oleh rambutnya yang hari ini digerai. Ia merasakan Juna memperhatikannya, namun toh tidak berarti apa-apa. Tapi tiba-tiba seseorang menarik kedua earsetnya.

"Lo ngapain, sih? Mau bikin track record lo buruk?" bisik Juna.

"Gue bosen," balas Luna ketus. Bukan karena Juna menarik earsetnya, tapi karena ia masih ingat kejadian waktu itu.

"Gimana mau nggak remed kalo pas pelajaran aja lo kay--Kampret!"

Juna meringis kesakitan ketika sebuah spidol papan tulis mengenai pelipisnya. Bu Naya sudah menatap garang ke arah mereka berdua dan mendekat.

"Kamu dengerin musik dipelajaran saya, Juna?" tanya Bu Naya.

Juna meringis. Ketika Luna hendak menarik earsetnya kembali, Juna menahannya.

"Abis saya bosen, Bu," sahutnya dengan cengiran lebar.

"Keluar kamu! Berdiri di lapangan sampai jam saya selesai! Keterlaluan!"

Dengan cepat Juna berlalu dari hadapan Bu Naya. Ia tampak santai dan terbiasa, jelas. Tiba-tiba pandangan Bu Naya beralih ke Luna. Gadis itu menelan ludah. Mampus gue, batinnya.

"Kamu juga. Cepat!"

Luna mengerjap dan segera bangkit dari tempat duduknya. Ia tidak menghiraukan godaan dari siswa kelasnya karena ia dan Juna sama-sama dihukum, ia juga tidak memikirkan perihal ia dihukum karena jelas ia salah di sini. Tapi, kenapa Juna bersikap begitu? Kenapa dia membuat Luna menjadi lebih susah move on darinya?

*****

Usai jam pelajaran keempat, Luna beranjak ke ruang musik tanpa menghiraukan kedua temannya yang sudah menarik-nariknya untuk menjajah kantin. Biasanya jam istirahat pertama di hari Jum'at atau Sabtu, Arvin, sahabatnya menghabiskan waktu di ruang musik untuk memetik senar gitar.

Luna tidak bisa menebak apakah ada orang di dalam atau tidak karena jelas-jelas ruang musik kedap suara. Ia membuka pintu sembari menyembulkan kepalanya ke dalam. Matanya membulat ketika melihat cowok yang sedang duduk bersandar sambil memetik gitar. Bukan, bukan Arvin. Tapi Adrian. Adrian itu....

The Ex [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang