Luna mengamati Juna yang tengah menggaruk-garuk hidungnya. Pandangan cowok itu gusar menatap soal-soal matematika di meja sedangkan Luna sibuk bersandar di sofa sambil membolak-balik majalah di tangannya. Setelah dirasa masker yang ia pakai mengering dalam waktu beberapa menit, Luna buru-buru berlari ke toilet, untuk membersihkannya secepat yang ia bisa.
"Kok lo berani, sih, ngajak pacaran di rumah gue?" Tanyanya setengah berbisik.
"Biar nyokap lo nggak khawatir?" Sahut Juna, dengan nada sangsi di akhir kalimat. Seolah ia bahkan tidak merasa 'pacaran' merupakan agenda mereka saat ini. "Gue kan ngajak belajar bareng, bukan pacaran."
Luna memundurkan kepalanya, kembali bersandar di sofa. "Kalo ketemu Raka, abis lo."
Juna menaikkan sebelah alisnya. Tentu saja tidak terpengaruh karena siapapun tahu, cowok itu sudah akrab dengan Raka jauh-jauh hari. Alih-alih menanggapi, Juna justru menepuk-nepuk karpet sebelahnya sementara tangan satunya meraih rubik di meja, ia menyuruh Luna duduk di sana. Dan gadis itu menurutinya.
"Kalo kamu mutusin aku, jangan mempermalukan aku, ya."
Sontak, Luna menoleh mendengarnya. Juna masih mengotak-atik rubik di tangannya, tapi Luna tahu pasti itu adalah pengalihan perhatian.
"Kenapa tiba-tiba ngomong putus?" Luna mengernyit, entah karena heran nada suaranya sendiri naik atau karena tidak mengerti dengan arah pembicaraan Juna. Dan lagi, cowok itu menggunakan aku-kamu.
Juna terdiam sebentar. Tampak menimbang-nimbang.
"Kita sama-sama tahu, record kamu mutusin mantan-mantan kamu yang rata-rata mempermalukan mereka." Ujarnya.
"Karena mereka brengsek."
"Nah, makanya. Aku mau klarifikasi," potong Juna. "Di hubungan ini, Lun. Yang kamu jelas lebih tahu ini cinta monyet dan cuman main-main, seenggaknya buat kamu. Tapi, aku nyaman. Dan kalo kita lihat, kayanya cuman aku yang naksir mati-matian sama kamu, sedangkan kamu? Kamu nggak deket sama cowok lain selain Arvin aja aku udah bersyukur."
Luna tidak begitu mendengarkan dengan seksama. Bodo amat, pikirnya.
"Iya, bodo amat. Ngapain sih Juna ngomong ginian," celetuk Juna disertai senyuman.
Luna terbelalak. Ia menatap Juna ngeri sembari memundurkan kepalanya. Jangan-jangan Juna cenayang? Kenapa dia bisa membaca pikirannya?
"Gue cuman mau negesin aja. Gue mungkin nggak kaya mantan-mantan lo yang lo bilang brengsek," lanjutnya. Gesturnya menahan Luna untuk menanggapi. "Kalo mereka brengsek karena macarin lo pake alasan lo cantik, gue minta maaf karena gue juga bagian dari mereka."
Diletakkannya rubik yang tiba-tiba sudah terbentuk warna-warna senada di tiap sisinya. Tangannya beralih ke pipi kedua sudut bibir Luna dan menariknya membentuk senyum lebar.
"But, this is what I falling in love with."
****
"Kalo kamu mutusin aku, jangan bikin aku malu, ya." Luna mendengus. "Pret."
Juna terkekeh sambil berusaha merebut rubik yang berada di tangan Luna. "Masih inget aja sih? Dosa, nginget-nginget kesalahanku terus."
"Masih gondok aja. Kita lagi adem-adem, eh kamu tiba-tiba mutusin. Taunya... Dian-"
Juna menghentikan Luna menyebut nama itu dengan mencium bibirnya. Membuat perempuan itu mencibir pelan sambil mengalihkan wajah. "Nggak mempan."
"Udah, sih. Diandra tuh baik banget. Kita putus bukan karena itu dulu." Akhirnya Juna meladeni Luna untuk bernostalgia. Keduanya masih berbagi pelukan di sofa depan televisi.
Luna tersenyum. "Iya tau. Hubunganku sama dia juga baik, kok. Jadi, kenapa?"
Juna menimbang-nimbang. "Kamu deket banget sama Arvin. Dan, aku juga tahu, perasaan kamu ke Adrian itu, bukan kaya cinta-cintaan anak SMA. Kania, Sheila, Arvin, bahkan Rian tiap saat mention nama Adrian."
Kenyataan itu cukup membuat Luna terkejut. Pasalnya, penolakan Adrian dulu langsung membuat Luna mundur teratur dan sahabat-sahabatnya tidak pernah menyinggung nama Adrian lagi di depannya semenjak mereka masuk SMA.
"Lucu, ya."
Juna menoleh, lalu menatap Luna lekat. "Hm?"
"Kamu dikelilingi wanita karir yang cantik-cantik, berpendidikan, punya masa depan cerah, tapi malah... ended up with me."
Juna terkekeh pelan. "Apakah seorang Aluna Annaura baru saja merasa insecure?"
Senyum Luna mengembang tipis. "Kamu sadar nggak, sih, kamu terlalu sempurna?"
"Sejak?"
"Apa?"
"Sejak kapan kamu merasa aku terlalu sempurna?" tanya Juna, makin mengembangkan senyumnya.
Luna berpikir keras. Sejak kapan? Tunggu, sebelumnya, memang apa saja indikator Juna terlalu sempurna bagi Luna? Pekerjaan tetap dan mapan, checklist. Ganteng, checklist. Rajin ibadah -menurut Luna, checklist. Perhatian, checklist. Dewasa, checklist....
Melihat Luna berpikir keras, Juna malah tertawa. "Sejak menikah sama kamu, kan?"
Luna terdiam seribu bahasa, membenarkan kalimat Juna.
"Bukan aku yang terlalu sempurna, sayang," tanggapnya sambil mengusap perut Luna yang telah membesar. "Kita,
Kita yang menyempurnakan satu sama lain."
*****
Help! Libur panjang bikin ngayal babu:(
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex [Completed]
Roman pour Adolescents"Masih doyan flashback? Norak. Kenangan itu adanya di belakang. Kalau kangen, lirik aja lewat spion. Nggak usah repot-repot nengok apalagi puter balik. Itu bahaya buat diri lo sendiri," kata Bang Raka. Start : Januari 2015 End : 17 Juli 2017