Chapter 5

1.4K 297 73
                                    

•••

Hinata masih memandang langit dari tempat tidurnya. Di luar, matahari masih tampak terang meski ia merasa sudah tidur lama.

Senyapnya kamar membuatnya sedikit berangan tentang kenangannya saat ia berlibur ke Sukuji untuk pertama kali bersama Sasuke.

Awalnya dia tidak memikirkannya, tapi rasanya sulit mengenyahkan sosoknya di saat semua kenangannya di sini penuh dengan lelaki itu. Padahal Hinata benar-benar hanya mengingat tentang apa saja yang dia lakukan selama di sini.

Dan saat pikirannya kembali ke waktu sekarang, justru tatapan Vivian lah yang membekas di ingatannya.

Hinata cuma tidak ingin memiliki musuh apalagi dengan pacar sahabatnya sendiri. Tapi semakin dipikirkan, malah membuatnya semakin tidak nyaman.

Karena tidak ingin terlarut, Hinata memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berniat untuk mengecek ke dapur.

Setibanya di sana, ia menemukan Tenten tengah mengambil beberapa bahan dari lemari pendingin.

"Tenten?"

Gadis yang masih memiliki darah Cina itu menoleh. "Oh, hai Hinata," sapanya.

"Sedang apa?" Hinata melangkah mendekat untuk melihat lebih jelas apa yang Tenten lakukan.

"Memilih bahan makanan. Sebentar lagi waktunya makan malam. Semua pasti kelaparan, 'kan?"

Hinata melihat ada cukup banyak sayuran segar berada di meja juga beberapa potongan ham yang masih kelihatan beku.

Tanpa diminta, Hinata membantu dengan memisahkan antara sayur dan daging. "Omong-omong, di mana Ino?" tanyanya.

"Oh, dia masih tidur. Sepertinya sangat lelah karena waktu aku bangunkan, dia sama sekali tidak terganggu."

"Kalau dilihat-lihat, Ino memang kelihatan yang paling lelah. Apa dia sakit?"

"Entahlah. Aku belum bertanya. Tapi, apa mungkin karena Sai?" Tenten mencoba menerawang.

Hinata sejenak terdiam. Sebenarnya itu hanya pertanyaan biasa tapi rasanya ada sedikit kegetiran di dalam dadanya. "Yah, siapa yang bisa melupakan mantan kekasih hanya dalam waktu singkat? Kurasa Ino dan Sai juga butuh waktu."

"Kalau Ino aku percaya. Tapi kalau Sai ... tidakkah kau perhatikan kalau dia agak dingin pada Ino?"

Tenten yang sedang mengupas kentang sadar kalau tidak ada tanggapan dari Hinata. Begitu ia menoleh, dirinya tahu kalau telah salah bicara. Dan untuk mengalihkan kecanggungan, dia berdeham kecil. "Hinata, kapan kau menikah?"

Hinata menoleh pada Tenten. "Kenapa tahu-tahu bertanya begitu?"

Tenten tersenyum kecil. "Cuma ingin tahu saja. Habis aku penasaran kenapa ayahmu mulai mendesakmu soal itu."

"Aku tidak tahu. Kurasa dia sudah lelah menghidupiku jadi ingin melepas tanggung jawab dengan memaksaku untuk segera menikah."

Walaupun terdengar serius tapi gurauan itu terdengar lucu dan membuat Tenten tertawa. Apalagi melihat tampang Hinata yang memelas. Membuat Tenten semakin terbahak-bahak. "Astaga, Hinata. Aku tidak tahu kalau kau punya selera humor."

"Hah? Padahal aku tidak bercanda. Bisa saja ayahku memang berpikir seperti itu."

"Ya. Tapi tidak dengan alasan konyol itu. Aku bertaruh, pasti ayahmu punya alasan sendiri. Mungkin beliau khawatir."

"Khawatir untuk apa?"

"Khawatir kau akan jadi perawan tua!" Tenten kembali tertawa keras.

"Sialan. Kalau itu aku juga tidak mau!"

FRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang