Aku membuka mata, tidak ada apa-apa selain warna putih polos. Aah sial, aku masuk ke jebakan Zero, tapi tempat apa ini, bukannya dia bilang ke Wanita itu tempat yang serupa dengan neraka.
'Aku tahu apa yang kau inginkan,' Sauarnya menggema di tempat kosong ini.
Ku balikan badan, ada 3 orang yang sudah menungguku, sepasang suami istri dengan anak mereka yang masih berusia 5 tahun. Tentu saja mereka akan muncul, ayah ibu dan adikku, tapi ini hanya ilusi. Aku menatap mereka datar, mereka sama persis dengan yang terakhir kuingat, selian berbaring di kantong jenazah tentunya.
"Kau sudah pulang kakak?"
"Ibu membuat makanan kesukaanmu, ayo ke sini."
"Bagaimana sekolamu Ara? Ayo ceritakan ke ayah?"
Mereka tersenyum, tentu saja mereka bahkan tersenyum sebelum merintih kesakitan. Sekelilingku berubah, menjadi bentuk ruang makan yang dulu ratusan kali ku datangi bersama mereka. Pantulan cermin di sana menampakanku sebagai anak kecil yang memakai seragam merah putih, lengkap dengan tas yang kubeli di pasar malam, dan sepatu kesukaannku saat SD.
Aaah, sial ...kenapa aku harus bertemu mereka di sini.
Kenapa?
Kenapa?
Senyum mereka, kenapa menyayat hatiku?
"Kakak, kau tidak apa-apa? Kenapa menangis?" tangan halus mengelus kepalaku.
"Rina kakak lelah, jangan ganggu," ujar lembut wanita itu.
Air mata membasahi pipiku. Ruangan ini, aku selalu berharap kami semua berkumpul di sini, bercerita apa yang kualami saat pulang sekolah,sambil menyantap masakan hangat ibu. Lalu setelah itu aku dan Rina menonton TV, kadang bertengkar karena acara TV. Bahkan dalam mimpi, aku ingin mengulang lagi saat-saat seperti itu, dan saat ini ... semua terasa nyata. Bau harum dari masakan ibu, suara koran yang di balik ayah, dan sentuhan lembut Rina ketika mengelus kepalaku. Tapi ...ini tidak nyata.
"Kalian semua sudah mati ...," gumamku.
"Kakak bicara apa, aku masih hidup. Apa kakak menonton Film horor lagi?"
Aku terkekeh, ini benar-benar memuakan, "Aku ingin sekali seperti ini, di sini bersama kalian selamanya. Aku ingin ayah mengantarku ke sekolah dan menjemputku. Kalian yang datang di wisuda dan petas seniku. Dan memujuku karena berlaku baik. Aku sangat ingin ... sangat," Air mataku mengalir begitu deras. "Tapi ini tidak nyata ... kalian semua sudah mati, tepat di hadapanku. Harusnya aku juga ikut mati bersama kalian, tapi tidak. Aku berkahir di tempat asing dan harus memegang pistol setiap saat."
Hawa dingin menusuk, sekelilingku berubah menjadi gelap, dengan perabotan acak-acakan, sama seperti hari itu. Aku kembali, menjadi gadis SMA yang memegang pistol dan terkadang pulang dengan lumuran darah. Anak yatim piatu yang kehilangan keluarganya katena kejadian tragis, dan berjuang di tempat asing untuk pertemuan ke 2 dengan makhluk yang menyebabkanku menderita. Aku menatao ke depan, 3 orang itu masih berdiri di depanku, hanya saja dengan penampilan yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya.
"Apa kau tidak ingin hidup bahagia bersama kami di sini selamanya Amara? Di dunia tanpa kesedihan dan penderita," ujar pria itu.
"Ayahku pernah berkata tentang kata 'selamanya'. Kau tidak mungkin bisa mencintai seorang selamanya, tapi kau bisa kehilangan mereka selamanya. Karena itu...," aku menodongkan pistol ke arah mereka, air mata tidak henti berlinangan dengan dada tercabik-cabik, lebih sakit daripada jantung yang dikeluarkan dari tubuh. Aku berusaha keras untuk tersenyum, walau dengan tampang buruk. "Selamat tinggal semua, aku menyanyi kalian." semuanya gelap, dan hanya ada 3 suara tembakan yang ku keluarkan.
##
Aku tidak sadarkan diri selama 3 hari, dengan gejala serupa dengan korban Zero lainnya. Mereka bilang aku hebat berhasil bangun dengan usaha sendiri, karena sampai sekarang hanya 3 orang dari puluhan khasus Zero termaksud anak BA. Di sisi lain Nixie masuk ke ruang konsentrasi, dengan kesalahan yang tidak diceritakan, yang jelas ada hubungannya dengan Zero dan pada saat aku tidak sadar diri. Walau begitu, misi Zero masih diberikan pada kami. Mereka tidak akan menunjuk orang baru sampai salah satu dari kami benar-benar gugur, sekejam itulah BA.
"Maaf membuatmu susah," ujarku ke Nixie yang menjengukku.
"Upahmu setengah milikku nanti," jawabannya ketus.
"Baiklah, lakukan terserahmu." aku tetdiam sejenak, memandang Nixie yang sedang mengupas apel. "Lalu ... bagaimana dengan Zero."
"Kita lakukan seperti kemarin. Lagipula kita sudah tahu seperti apa wujudnya. Aku sudah meminta Nabil menggambar sketsanya."
"Akhirnya kalian baikan juga," aku terkekeh, namun terhenti saat Nixie menyodorkan pisau ke arahku dengan hawa membunuh yang pekat. "Iya maaf."
"Lalu ... apa yang kau lihat selama 3 hari tidur."
Aku mendengus keras. "Bukan hal menarik, dan sebenarnya terlalu basi untukku." walau itu nyata, aku tidak bisa katakan semua akan indah. Kenyataan selalu menyakitkan dibandingkan dengan dunia mimpi, bahkan di dunia dengan segala ketidak masuk akalan ini.
#
Bangkai ular tergeletak di pinggir jalan, semua organnya keluar karena terlindas ban mobil. Ryan mengarahkan kamera, mengambil satu gambar untuk koleksinya hari ini. Hentakan kaki membuatnya langsung membalikan badan, terkadang dia berharap orang itu yang datang, walau nyatanya bukan. Gadis berjaket merah yang sedang menjilati permen loli rasa strawberi.
"Aku tahu apa yang kau mau," ujarnya.
Ryan menatapnya dengan bingung, dia sengaja menutupi bangkai ular dengan tubuhnya. "Apa Maksudmu?"
Zero tersenyum dengan khas, seraya mengigit gagang putih permen. "Kau ingin bersama dia...-"
"Ryan?" seseorang datang, suara berat yang tidak asing untuk Ryan, dan juga Zero. Tubuh Zero mendadak dingin, tangannya gemetaran, keringat dingin mengalir dari keningnya.
"Pak guru Astra, sedang apa anda di sini?" sahut Ryan.
Pria berambut hitam yang tersisir rapi ke belakang, dengan setelan jas berwarna krem. Dia tersenyum ramah, dengan mata menyipit di balik kaca mata, Ryan mengenalnya sebagai Astra, guru Fisikanya di sekolah. Zero ragu-ragu membalikkan badan, wajahnya pucat ketakutan dan tidak berani mengangkat kepala, ada gravitasi kuat yang membuat kakinya tetasa berat sehingga tidak bisa pergi.
"Ahh, kau juga di sini." pak Astra melirik Zero yang gemetaran.
"Bapak kenal dia?" tanya Ryan.
"Tentu saja," dia mendekati Zero, dan mengelus kepalanya. "Dia anak tetanggaku." Mungkin hanya Zero yang bisa mendengar suara berat yang sangat mengerikan seperti nada milik iblis. Tatapan setajam elang mengarah padanya. "Kau boleh menghancurkan seluruh dunia, tapi jangan sentuh dia jika kau ingin terus hidip di sini," bisikan kecil yang langsung membuat telinga Zeri berdenging keras dan kepalanya terasa akan pecah.
"Ma-maafkan aku!" teriak Zero dengan keras. Dia langsung lari terbirit-birit, pergi sejauh mungkin dari sana. Tubuhnya masih mengigil, dengan telinga dan kepala sakit. Dia tidak menyangka bertemu makhluk itu dengan cara seperti ini,hanya beberapa orang beruntung yang dibiarkan hidup setelah mengetahui sosok darinya, dan Zero salah satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bhagawanta Academy - Death Ending Amara (Tahap Revisi) End
FantasíaKematian? Seperti apa rasanya? Aku yang berada di garis perbatasan antara keabadian bahkan tidak pernah takut dengan itu, sebaliknya aku menantikan. Pasti tidak semenyakitkan saat makhluk itu membunuh seluruh keluargaku, atau menusuk jantungku berka...