Bab 7:

2 0 0
                                    

Hari minggu yang panjang, juga terasa canggung dengan bersama Nixie dan Nabil, mereka sama sekali tidak saling bicara, ini membuatku frustasi sejak pagi. Akhirnya aku mengungkapkan kebohongan saat pertama kali bertemu Nabil, Hp ku tidak rusak, aku dam Nixie tidak punya HP sampai hari ini. Film tadi juga terasa membosankan, hal yang kami lihat dan lawan setiap hari berkali-kali lipat lebih seram dam mencekam dari film. Saat ini kami bertiga duduk di cafe mall untuk makan siang, begitupun pelihara Nixie, dia surah terlelep sejak kami tiba dan di kerumuni kupu-kupu.

"Jadi BA menggunkan O-Email, BA-line untuk forum murid seperti kita, dan berita seputar BA ada di O-Gram," jelas Nabil sambil menunjukkan fungsi aplikasi yang baru kuinstal. Semua aplikasi tadi hanya berlaku khusus untuk BA, wajar saja karena BA dan dunia manusia berbeda dimensi sehingga memiliki akses sosial media yang berbeda. Yang paling tidak ku suka adalah, sebentar lagi Hp ini akan di sadap oleh Intel BA, mereka orang-orang yang selalu ikut campur bahkan dalam urusan pribadi.

"Terima kasih, sekarang tinggal aku buat akun kan? Sepertinya punya Nixie juga harus aku yang buat." Karena dia sejak tadi menunjukan antusias untuk tidak akan menggunakan HP.

"Benat, jangan lupa add punyaku." Nabil memamerkan senyum khasnya. Aku pura-pura tidak memperhatikan. "Ngomong-ngomong misi apa yang kau dapat setelahnya?" dia membuka sesi pembicaraan.

"Kami tidak dapat misi lagi setelah seminggu. Baik Nixie dan aku perlu pemulihan, jatuh dari gedung tinggi berulang kali sangat menyakitkan," aku menghela nafas berat di akhir kalimat.

"Kau harusnya hati-hati, walau Regenerasimu bagus, jika terluka fatal kau akan mati."

Aku tersenyum mendengar kalimat itu, cukup menggelitik sampai bisa membuatku tertawa keras. Aku sampai tidak bisa berfikir dia perhatian Sangking terlihat bodoh. Ku tatap doa dengan tajam. "Aku tidak akan mati," jawabku.

Dia tertawa, mungkin dianggapnya ucapanku sebagai candaan yang naif, tapi itu kenyataan. Sekeras apapun aku mencoba dan menginginkannya, aku tetap tidak akan mati, memikirkannya membuat kewarasanku hampir hilang.

"Baiklah, kau orang yang kuat. Tentu tidak akan mati dengan mudah." Aku hanya tersenyum lebar sambil menyipitkan mata. "Kalian berdua sangat hebat, kuakui itu."

"Lidahmu sangat pintar menjilat ya."

"Maksudmu pasti bukan menjllat es krim."

Aku terkekeh. "Lebih baik jangan lanjutkan jika kau ingin terus bersama kami dan mendapat uang yang banyak."

Nabil mendesis. "Kau pintar menebak, aku sempat berfikir seperti itu saat melihat upah yang kuterima. Tapi setelah difikirkan, aku tidak memiliki nyawa sebanyak kalian."

"Nyawa hanya satu, kucing dengan 9 nyawa hanya mitos, normalnya begitu." Mataku menyipit melihat foto yang lewat di layar HP. "Aaa ... aku baru tahu pak Siji pakai dasi pink dan kerja sampingan jadi penulis buku gaib."

Nabil mendengus sambil menggeleng kepala, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi terlanjur ia telan lagi dalam otakku. Dia tiba-tiba berdiri, membuat perhatikanku tertuju padanya. Nagil menatapku sambil menepuk jam tangan di lengannya. "Sudah jam segini, aku harus kembali ke BA untuk misi besok."

"Bye-bye." Aku melambaikan tangan.

Nabil tidak menunda waktu, dia pergi ke sudut kosong cafe dan langsung membuka portal, dia terlihat terburu-buru tapi aku tidak peduli. Begitu Nabil pergi, Nixie mengangkat kepala, wajahnya tidak seperti orang yang baru bangun tidur lama, dia pasti pura-pura tidur. Dia langsung menatap lengan, noda merah menembus jaket merah muda yang ia pakai, peliharaannya langsung mengerumuni noda itu.

"Jangan sayat tanganmu di tempat umum," tegurku.

"Aku melakukannya tadi pagi." Lukanya pasti membesar karena ia tindik dengan kepala tadi. "Sepertinya aku harus ke kamar mandi." Nixie berdiri, dan melangkah mengikuti tulisan toilet yang tertempel di ujung cafe. Aku berharap sangat, Nixie tidak diam-diam membuka portal untuk kembali ke BA, dan meninggalkanku sendirian di sini. Yaa ... walaupun aku sudah biasa berpergian sendiri kemana-mana.

Aku menyedot lemon tea, menyangga kepalaku dengan tangan sambil menikmati pemandangan jalan dari jendela. Hari ini pun banyak orang tersenyum bahagia, berjalan bersama teman atau keluarga sambil mengoceh dan tertawa, memasang topeng seolah tidak pernah ada sedih selama hidup mereka, entah kenapa berhasil membuatku cemburu melihanya. Pulang ke rumah saat senja dengan bau nasi hangat, suara TV dan kipas menyala, atau kekehan riang dari candaan anak-anak, aku selalu membayangkannya. Berfikir apakah aku akan menyukainya, atau membenci semuanya karena lelah. Aku mengigit ujung sedotan, rasa menimuan ini mendadak terasa asam.

"Amara?" Seseorang memanggilku, bukan Nixie, suara laki-laki yang tak asing. Aku menoleh, dan langsung melongok mengetahui siapa orang yang memanggilku.

Aku terlalu terkejut sampai tidak bisa memikirkan sepatah katapun. Bukan karena setelah sekian lama akhirnya aku bertemu dengan dia, tapi karena dia mengenaliku bahkan menyapaku, aku tidak menyukainya. Harusnya dulu Intel kusuruh untuk menghapus semua ingatan tentangku di ingatannya, bahkan akan lebih baik jika dia berpura-pura tidak mengenalku.

"Kau masih ingat aku?" tanyanya, menegurku untuk kedua kali.

Aku menghela nafas panjang, sebisa mungkin aku harus bersikap tenang, dan jangan lari. Aku tersenyum tipis. "Lama tidak bertemu Ryan, apa kabar?"

"Baik, siapa sangkat kau akan kembali ke Kota ini lagi." Aku tidak memperhatikan Nabil membuka portal ke mana, dan langsung masuk begitu saja. Pantas saja semuanya terasa tidak begitu asing di sini.

"Hanya mampir sebentar," aku melihat kamera yang tergantung di lehernya. "Dapat foto yang bagus?"

Dia langsung gelagapan dan memalingkan sorot mata dariku. "Tidak juga."

Aku tidak ingin bernostalgia di tempat seperti ini, dan sebenarnya aku sama sekali tidak ingin melakukannya. Ku tatap tempat Nixie pergi tadi, dia belum juga kembali, kurasa instingku benar. Aku memasukan 2 buah benda pipih ke dalam tas kecil yang terbuat dari ayaman rotan, tas kesukaannku. "Kalau begitu aku pamit dulu," aku berdiri, dan melangkah meninggalkannya.

"Amara tunggu," dia menahan dengan memegang lenganku. Aku melinguk, dia masih tidak berani menatap mataku. "Kita sudah lama tidak bertemu, bisakah sebentar saja minum berdua, aku traktir."

Ingin ku jawab, aku tidak kekurangan uang hingga tidak sanggup membayar 1 gelas teh. Tapi ... "Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?" cengkraman tangannya semakin kuat, dia menjawab dengan 1 anggukkan. Kupu-kupu Nixie terbang mendekat dan hinggap di bahuku, dia pasti sedang mengawasiku saat ini, aku terkesan dalam keadaan seperti ini Nixie perhatian padaku. "Baiklah, tapi jangan di sini. Lalu cepat, temanku sudah menungguku."

Bhagawanta Academy - Death Ending Amara (Tahap Revisi) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang