Bab 2

16.1K 1K 1
                                    

Hana meremas kuat ujung dress yang ia gunakan. Wajahnya nampak kaku dengan perasaan deg-degan. Apalagi ketika dia ditatap oleh beberapa pasang mata layaknya seorang narapidana.

Bagaimana tidak? Sudah tiga jam lebih dia mencari kakaknya. Tapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Kakaknya tidak ada di mana pun. Termaksud di rumah teman-temannya.

Tidak ingin membuat semua semakin pelik. Dia memilih mendatangi rumah om Bastian. Dan mengatakan jika kakaknya tidak ada di rumah, alias kabur.

Dan di sinilah dia saat ini. Duduk di ruang tamu dengan banyak pasang mata menatap ke arahnya dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Ada yang tak percaya, datar juga dingin.

Nyalinya kian menciut ketika tak ada satu pun yang membuka suara. Semuanya hanya diam mendengarkan semua penjelasannya tentang kakaknya yang melarikan diri. Seakan tidak ada yang ingin melewatkan satu pun cerita dari Hana. Namun ekspresi wajah mereka yang tidak biasa membuat Hana merasa tidak nyaman.

"Saya minta maaf om atas nama kakak saya. Tapi kami benar-benar tidak tahu jika semua ini akan terjadi." Sekali lagi Hana membuka suara. Berharap bisa mengurangi suasana kaku di ruangan itu.

Tapi sudah beberapa menit, tidak ada yang membalas kata-katanya. Semua masih diam, membungkam rapat-rapat mulut mereka. Seakan apa yang Hana katakan bukanlah sesuatu yang bisa membuat mereka tertarik.

Meski Hana mengatakan semua itu dengan nada tenang. Tapi keringat di pelipisnya menunjukkan jika dia saat ini luar biasa cemas. Bahkan tangannya sudah sangat dingin layaknya es. Dia benar-benar takut kali ini. Lebih takut hanya untuk menerima hukuman mati. Dipikiran Hana saat ini adalah mamanya. Bagaimana dia menjelaskan semuanya pada mamanya?

"Sejak kapan dia pergi?" Suara beriton terdengar berat yang pertama kali membuka suara setelah beberapa menit tidak ada suara.

Hana menoleh, menatap pria tampan yang duduk di sofa singel. Yang terus menatap tajam ke arahnya. Hana menelan ludah susah payah, kenapa pria itu terlihat sangat menakutkan sih? Apa dia tidak bisa menatap Hana biasa-biasa saja? Apa harus setajam itu?

"Sekitar jam lima sore." Cicit Hana pada akhirnya. Bisa mengeluarkan suara meski begitu pelan.

"Dan kamu baru memberitahu kami jam sembilan malam?" Tanyanya terdengar sinis. Jangan lupakan wajah kakunya yang begitu datar. Seakan siap menguliti Hana hanya dengan tatapan matanya.

"Maaf, tapi kami hanya ingin berusaha mencarinya."

"Lalu, apa kalian menemukan hasilnya?" Lanjutnya semakin sinis. Membuat Hana menelan ludah gugup. Jika begini terus bisa-bisa dia mati kutu. Pria itu benar-benar sangat pintar mengintimidasi. Hana bahkan kesulitan hanya untuk membalas kata-katanya yang lambat-lambat terasa kian tajam.

"Lihatkan pa! Apa mama bilang? Udah dari awal mama itu gak suka sama perempuan itu kan? Papa aja yang ngeyel. Sudah begini mau gimana? Mana undangan udah di sebar lagi. Pernikahannya juga tinggal besok. Mau di taro mana muka kita pa? Pasti setelah ini kita akan jadi bahan gunjingan orang-orang." Wanita anggun setengah baya yang kisaran berumur mama Hana ikut angkat bicara.

Berteriak kesal tanpa mau menatap ke arah Hana lagi. Memang sedari Hana masuk ke rumah ini. Hanya om Bastian yang berlaku ramah padanya. Sisanya tidak ada yang mau menatap atau mengajaknya bicara. Mereka hanya melirik Hana dengan tatapan mata tidak suka yang begitu ketara begitu Hana mengatakan jika kakaknya lari.

"Maaf Tante, saya akan berusaha mencari kakak saya sampai ketemu. Saya janji." Tidak ingin membuat wanita tua di depannya semakin marah, Hana berusaha memberikan solusi.

Meski dia sendiri tidak tahu harus mencari ke mana. Tapi setidaknya dia belum melaporkan ke polisi soal hal ini kan? Barangkali polisi memiliki solusi yang bisa membantunya.

Pengantin Pengganti (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang