"Eh, Aylin .... Lo gimana, sih!"
Kira sungguh kesal dengan sahabatnya satu itu. Bagaimana bisa dia sengaja menumpahkan saus dan mengenai baju Kira.
"Sengaja, ya!"
"Eh, nggak! Nggak sengaja, Kira. Tapi disengaja," ujar Aylin dengan menekan kata terakhirnya.
"Ish!" Kira lantas pergi ke toilet untuk membersihkannya.
Bukan Aylin namanya jika dia tidak membuat Kira marah. Memang sahabatnya itu adalah perusak suasana hatinya.
Sudah baik-baik Kira setuju untuk membawa makanan kesukaannya. Malah ini yang dia dapatkan.
Tidak. Kira tidak marah sungguhan, kok. Mana mungkin dia marah. Kalau saja Aylin tidak seperti itu, mungkin saja hidupnya akan terus gelap, tanpa warna.
Ya. Aylin Binara. Sahabat yang Kira kenal saat pertama masuk sekolah. Sahabat yang dipertemuan pertama mereka sempat membuatnya gila karena tidak bisa membedakan mereka.
Dahulu Kira sulit membedakan, yang mana Alkina dan yang mana Aylin. Saat itu rambut mereka sama. Wajah mereka juga sudah pasti sama. Tinggi mereka memang berbeda. Alkina lebih tinggi sedikit daripada Aylin. Akan tetapi, jika bertemu dengan mereka saat mereka terpisah, mana mungkin bisa membandingkan tingginya.
Detik demi detik terus berjalan. Satu hal yang bisa Kira gunakan untuk membedakan antara Alkina dan Aylin. Tatapannya. Sorot matanya.
Kira sangat paham dengan sorot mata Aylin. Sahabatnya itu selalu memberinya kehangatan, ketulusan, dan bahkan kebahagiaan.
Aylin. Manusia menjengkelkan namun meneduhkan. Menjaga Kira dari kegelapan siang. Orang yang membuatnya lupa akan luka di rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang ternyaman. Namun nyatanya tidak bagi Kira.
Sudah. Sudah cukup sampai di sini. Kira tidak suka lukanya diketahui bahkan disebar kesana-kemari.
Selesai membereskan perihal bajunya, Kira segera kembali ke kamar Aylin.
"Udah, Ra?" tanya Alkina. "Apa perlu ganti bajunya?"
"Ah, nggak, Na. Udah, bersih, kok."
Mereka berempat, Aylin, Alkina, Kira, dan juga Feyla, kini berkumpul di kamar Aylin.
"Kalian udah ada bayangan tentang tour yang diadakan sekolah?" tanya Feyla tiba-tiba.
"Oh, iya. Soal itu! Kita bareng aja!" seru Aylin penuh semangat.
"Emang pembagiannya gimana?" tanya Kira.
"Katanya, sih, bakal dibagi jadi beberapa kelompok dan tujuan wisatanya. Kelompoknya terdiri dari campuran, IPA dan IPS." Alkina mengatakan apa yang dia tahu.
"Tapi belum ada info pastinya, sih," sambung Alkina.
"Ya, udah. Lebih baik kita tunggu info pastinya aja," ujar Feyla.
Mereka pun melanjutkan acara makan mereka. Ya, walaupun dari tadi Aylin sudah memakannya.
"Ini, Fey. Dimakan, dong!" Aylin menyodorkan pisang coklat ke arah Feyla.
"Iya."
Alkina yang sedang mengecek ponselnya, tiba-tiba berkata, "Cek grup kelas, deh. Wali kelas udah info-info tentang tour-nya."
Dengan serentak, Aylin, Kira, dan Feyla menoleh ke arah Alkina.
"Serius?"
Mereka langsung mengecek ponsel masing-masing.
"Tour akan mulai dilaksanakan dua minggu lagi, tepatnya tanggal 20 sampai dengan tanggal 26 dengan ketentuan sebagai berikut." Alkina membaca surat pemberitahuan itu.
"Terbagi menjadi beberapa kelompok dengan anggota campuran dari kelas IPA dan IPS," ujar Feyla.
"Setiap kelompok terdiri dari 10 orang dengan 5 laki-laki dan 5 perempuan." Kira menyambung pemberitahuan yang dibaca Feyla.
"Masing-masing kelompok memilih 1 tujuan dari pilihan yang telah sekolah sediakan."
Kurang lebih seperti itulah isi surat pemberitahuan dari sekolah.
"Kamu mau ikut, Lin? Kaki kamu gimana?" tanya Feyla.
"Dia nggak ikut," ujar Alkina tiba-tiba.
"Lina ..., Alin ikut."
"Ikut, kok, Fey." Aylin bersikeras untuk ikut.
"Nggak bisa, Aylin. Kaki kamu gimana?" tolak Alkina.
"Iya. Lo nggak usah ikut! Gue nggak mau repot." Kira menatap Aylin tajam.
"Ya udah. Aku ngrepotin Feyla aja. Iya, 'kan, Fey?"
Dasar Aylin tidak tahu malu. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu.
Akan tetapi, yap. Kamu benar. Kira tidak mungkin Setega itu. Gadis itu hanya khawatir pada Aylin. Setidaknya kaki Aylin harus sembuh dahulu. Dia tidak mau lukanya hanya akan semakin parah.
"Nggak!" tolak Alkina dan Kira secara bersamaan.
Aylin menatap saudara kembar dan juga sahabatnya bergantian.
"Ikut! Mana bisa aku sendiri di rumah. Sedangkan kalian enak-enakan tour ke sana!"
"Kaki kamu gimana, Aylin Binara!" Alkina membantah saudara kembarnya yang keras kepala itu.
"Nggak apa-apa. Masih dua Minggu lagi. Pasti udah sembuh, kok!"
"Sudah-sudah. Kamu jaga saja kesehatan kaki kamu, biar pas waktunya tiba, kakinya udah sembuh," ujar Feyla seperti seorang ibu yang lelah melihat ketiga anaknya tidak akur sama sekali.
"Nah, setuju!" Aylin bersemangat.
---
nb: 680 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan dan Pundaknya
Jugendliteratur- Bulan dan Pundaknya - Teruntuk kamu yang tersesat di sebuah labirin dengan jalan keluar yang entah dimana. Teruntuk kamu yang lelah menopang beban dan jengah karena dihantui perasaan tak karuan. Teruntuk kamu yang merindukan pundak ternyaman sebag...