01.1 - Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi
Sang penyair Chairil Anwar berimajinasi, aku ingin hidup seribu tahun lagi, karena takut terhadap misteri kematian. Sementara aku, ingin hidup seribu tahun lagi, karena kasih sayang Ayah dan Ibu, tidak pernah luntur dalam keadaan apa pun.
"Sederhanakan pikiran, jauhi angan-angan, syukuri nikmat-Nya, sabar dalam keadaan apa pun, niscaya senyum dan kebahagiaan menyelimuti kita di mana pun" ungkap Ayah sambil memeluk aku dan Febi. Sementara Ibu yang tengah asyik membuat sulaman kruistik, sekali-kali melempar senyum pada Ayah, yang membalasnya dengan tatapan mesranya.
"Aku ingin hidup seribu tahun lagi", gumam hatiku.
"Keluarga Gusnawan, sakinah, mawaddah, warahmah, layak menjadi contoh" komentar saudara, kerabat serta teman sejawat Ayah yang kerap bertandang ke rumahku, di jalan Van De Venter, rumah warisan Ibu, tempat kami berteduh, bercanda, bermain ludo atau halma bersama Ayah, belajar membaca Al-Quran bersama Ibu, yang rajin ibadahnya.
Hari-hariku begitu indah dalam kebersamaan, tiap Minggu pagi jogging di Gasibu, melepas lelah sambil makan bubur ayam pak Tohari disusul minum segelas susu panas, pulang rame-rame naik angkot, sementara adikku, si manja Febi yang masih duduk di bangku EsEmPe saat itu, maunya duduk di samping sopir, kalau sudah sudah ada penumpang, giliranku ketempuhan, ia mesti duduk di pangkuanku.
Saat makan, sering kali Febi merajuk minta yang aneh-aneh, siang itu, ia minta goreng burung dara.
"Mobil dinas tidak boleh dipakai pribadi" perintah Ayah.
Pak Asep pun menggendong Febi, mendudukkannya di boncengan motor jadulnya, Febi pun tersenyum kegirangan.
--
Malam-malam indah, melekat dalam ingatan, selepas isya nongkrong di teras rumah, sambil menunggu tukang sekoteng,
"Aku anak beruntung hidup di tengah kasih sayang Ayah dan Ibu" gumam hatiku, sambil memasang pita merah pada rambut adikku, mencium pipinya dengan penuh kasih sayang, membalasnya dengan pelukan hangat.
"Daddy bahagia melihat kalian berdua" ungkap Ayah, di sela senyuman damainya.
---
01.2 Sang Pejabat
Sepulang dinas, tidak biasanya, Ayahku langsung memeluk Ibu, aku dan adikku,
"Kita akan hidup senang, berkecukupan, tidak akan kekurangan lagi,!"
"Sabar, ada apa sebenarnya" ungkap Ibu sambil membukakan sepatu dan sarung kaki Ayah.
"Daddy dipindahkan ke Jakarta, menjadi pimpinan Direktorat Jenderal Sarana Umum," balas Ayah sambil, memperlihatkan lembaran EsKa Menterinya.
"Astaghfirullah, InsyaAllah Dadd bisa berbuat banyak bagi kepentingan rakyat dan bangsa, Alhamdulillah" ungkap Ibu lirih.
Sesuai kapasitas tugasnya, Ayah pun, hijrah ke Ibukota menempati rumah dinas eksklusifnya tanpa keluarga, karena Ibuku memilih tinggal di Bandung, hidup sederhana apa adanya.
Namun apa pun alasannya, Ibu sebagai Ketua Derma Wanita, jabatan melekat pada setiap istri pejabat Negara, sewaktu-waktu harus siap meninggalkan kesederhanaannya, ketika berada di tengah lingkungan organisasi yang menuntut sikap profesional, sebagai seorang pemimpin.
---
01.3 Prahara
Di luar dugaanku, dalam sekejap, nuansa kehidupan keluarga berubah seratus delapan puluh derajat, Ayahku berubah total, ambisius dan materialistis.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK KAKI LANGIT
Adventure[TERIMA KASIH SUDAH FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sajian inspiratif bagi pada pencari kebahagiaan hidup dan indahnya cinta. Siapa pun anda, para milenial, dewasa tua, pejabat, termasuk presiden sekali pun, pasti akan senang membacanya. Nama, peristiwa da...