bab 1

3.9K 183 5
                                    

"Ma, ini di foto Papa gendong siapa, sih?" seru Cahaya, putriku. Anak enam tahun itu berlari ke arahku yang sedang memakai krim malam.

"Mana?" tanyaku santai tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. Paling itu foto Mas Ibram menggendong Cahaya saat masih bayi. Bukankah anak seusia Cahaya sering tak mengenali foto dirinya saat masih bayi?

"Ini, loh, Ma!" Cahaya mengangsurkan selembar kertas foto kepadaku. Setelah menepuk lembut kedua pipiku, aku menerima foto yang diberikan Cahaya.

Dahiku mengernyit menatap foto itu. Foto itu tampak sudah cukup lama. Warnanya juga sudah agak pudar. Mas Ibram tampak menggendong anak kisaran usia tiga tahun. Aku bisa pastikan itu bukan foto Cahaya. Juga wanita yang berdiri di samping Mas Ibram bukan aku.

"Siapa, Ma?" tanya Cahaya masih sambil berdiri menunggu jawabanku. Karena biasanya dengan telaten aku menjelaskan apa saja kepadanya.

"Emh, mungkin ini keponakan papa di kampung, Ya," jelasku pada Cahaya. Sekaligus mensugesti pikiranku sendiri agar tak berpikir macam-macam.

Karena setahuku Mas Ibram itu dulunya memang duda. Namun, ia duda tanpa anak, karena istrinya meninggal saat melahirkan anak mereka. Itu sebabnya Mas Ibram merantau ke sini dan akhirnya menikah denganku delapan tahun lalu.

"Oh." Bibir mungil Cahaya membulat mendengar penjelasanku.

"Aya dapat foto itu dari mana?" selidikku.

"Di laci Papa," jawabnya.

"Laci?" ulangku sembari menautkan kedua alis.

"Iya, Ma. Aya mau pinjam pulpen Papa buat gambar ikan, terus cari di laci enggak ada. Malah nemu foto ini," jelasnya.

"Emang pulpen Aya kemana?"

"Pensil Aya patah," jawabnya.

"Ya, sudah. Ayo, temani Mama balikin foto ini!" ajakku.

Anak perempuan berpiama pink itu menurut. Kami bergandengan tangan menuju ruang kerja Mas Ibram. Anak itu tampak ceria, berbeda denganku yang sibuk dengan berbagai pikiran buruk.

Siapa wanita dan anak itu? Mungkinkah mereka anak istri Mas Ibram sebelumnya? Lalu kenapa Mas Ibram mengatakan kalau istrinya sudah meninggal sehingga ia duda tanpa anak?

Kalau itu benar, lalu siapa perempuan dan anak itu? Jika hanya sekedar saudara, tak mungkin Mas Ibram sampai menyimpannya.

"Di laci ini, Ma!" Cahaya menunjuk laci meja kerja Mas Ibram. "Aya dapat foto itu di sini."

Aku segera membuka laci tersebut. Selama ini aku terlalu percaya pada Mas Ibram, sehingga tak pernah mengecek ruang kerjanya. Di mataku selama ini ia sosok suami dan ayah yang lurus-lurus saja, tak pernah macam-macam.

"Di sini Aya nemunya?" tanyaku pada anak bermata bulat yang berdiri di sampingku.

"Iya, di bawah buku-buku itu, Ma," jelasnya.

"Ya, sudah. Kita balikin di sini, ya? Takut Papa nyariin," ucapku sembari meletakkan kembali foto itu di bawah buku sesuai dengan yang dikatakan Cahaya.

Anak itu mengangguk. Sejurus kemudian, ia menguap. "Aya ngantuk, Ma."

"Ya, sudah. Bobo sama Mbak Susi dulu, ya? Mama ada yang mau dikerjain."

Cahaya menurut. Anak itu melangkah keluar menuju kamar pengasuhnya, Mbak Susi.

Sementara aku mencari-cari hal lain di ruang kerja Mas Ibram. Aku ingin menemukan hal lain yang sekiranya bisa memberiku petunjuk tentang foto itu. Kalau tidak, mungkin ada hal lain yang Mas Ibram lakukan di belakangku.

Aku membuka buku yang menumpuk foto tadi. Itu hanya buku agenda. Tak ada tulisan yang aneh-aneh. Semua tampak biasa. Aku tak menemukan sesuatu yang ganjil di ruang kerja Mas Ibram selain foto tadi.

Kuputuskan mengambil foto itu dan akan kutanyakan nanti pada Mas Ibram langsung kalau dia pulang. Aku tak suka ada rahasia di antara kami. Apalagi selama ini, aku juga tak pernah menyimpan apapun dari dia.

Aku berjalan kembali ke kamar sembari memandangi foto itu. Kepalaku sibuk menerka, siapa wanita dan anak dalam foto bersama Mas Ibram itu. Mungkinkah lelaki yang selama ini tak banyak tingkah itu mengkhianatiku?

Saat aku duduk di bibir ranjang, ponsel di sampingku bergetar. Tampak Tania menelepon.

"Ya, Tan!" sapaku.

"Vi, lu lagi dimana?" tanyanya.

"Di rumah. Kenapa? Mau ajak kemana malam-malam gini?"

"Suamimu?" Bukannya menjawab, ia balik bertanya lagi.

"Di kantor paling. Biasa akhir bulan," jelasku percaya diri. Karena aku tahu kesibukan Mas Ibram saat akhir bulan.

"Aku punya tetangga baru," ucap Tania. Tidak nyambung dengan pertanyaan-pertanyaannya tadi.

"Terus?" tanyaku.

"Aku pikir dia saudara kamu, Vi," ucapnya.

"Kok, bisa?" tanyaku penasaran.

"Soalnya sejak pagi, suamimu sibuk bantu dia pindahan," jelas Tania.

"Masa, sih? Kamu ketemu Ibram?" tanyaku tak percaya.

"Ketemu langsung, sih, enggak. Tapi aku liatin mereka dari lantai dua. Kan, rumahnya persis di depan rumahku," jelasnya. "Tuh, mobil Ibram juga masih di situ."

"Yang benar, Tan?" kejarku. Dadaku tiba-tiba saja panas mendengar itu. Meski aku tak bertanya pada Mas Ibram keberadaanya, tetapi di pikiranku lelaki itu masih di kantor.

"Benar, Vi. Nanti aku fotoin."

"Enggak usah, aku ke tempat kamu sekarang aja!"

Bergegas aku mengganti pakaian, lalu menyambar kunci mobil dan melaju ke perumahan baru Tania, sahabatku. Perjalanan yang harusnya memakan waktu setengah jam, aku tempuh hanya dalam waktu 20 menit.

Mobil langsung aku parkir di depan pagar rumah Tania. Kemudian menelepon wanita itu mengabari kalau aku sudah di depan. Sejurus kemudian, Tania keluar.

"Itu, mobil suamimu masih di situ!" ujar Tania sembari menunjuk rumah yang berseberangan dengan rumah barunya itu menggunakan dagu.

"Kita langsung ke sana aja, ya!" pintaku.

Tania mengangguk setuju. Tanpa aba-aba kami memasuki pagar rumah yang tidak dikunci itu. Setelah melewati halaman yang tidak begitu luas, kami berdiri di depan pintu.

Setelah menghela napas, aku mengetuk pintu rumah itu. Aku dan Tania saling berpandangan saat mendengar suara kunci rumah diputar.

Sejurus kemudian tampak anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun dari balik pintu. Dia memandangiku dan Tania dengan tatapan bingung. Tentu saja karena kami memang tak saling mengenal.

"Mama sama papanya ada, Dek?" tanya Tania.

Anak itu mengangguk.

"Ayah, ada tamu!" seru anak itu

"Siapa, Bi?" Jantungku seperti mau meloncat saat mendengar bariton yang menyahut anak itu.

"Enggak tahu, Yah," jawab anak itu.

Wajahku pasti sudah berubah merah saat ini. Terlebih saat lelaki yang sangat aku kenali muncul menemui kami. Seketika mata lelaki itu melotot melihat keberadaanku.

"Viona?"




TERBONGKARNYA KEBUSUKAN SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang