bab 8

2.2K 187 12
                                    

Kubanting sekuat tenaga pintu mobil Tania. Dadaku rasanya mau meledak. Hatiku sakit, sangat sakit. Meskipun di depan mereka aku bisa terlihat kuat, tetapi sungguh, sebenarnya aku hatiku hancur. Aku benar-benar remuk. Tak berbentuk.

"Aaagrh!"

Aku berteriak, menangis meluapkan semua rasa yang sejak tadi begitu sesak menghimpit dada. Saat ini aku tak lagi bisa menahannya.

Ternyata seperti ini rasanya, ketika orang yang aku cinta, ternyata tidak menjadikan aku satu-satunya. Sakit. Sangat sakit. Seperti beribu-ribu anak panah menancap di dadaku secara bersamaan. Kemudian satu persatu dicabut dengan brutal.

"Ya Allah!" ratapku. "Ini sakit sekali ...."

Bagaimana batinku tidak terkoyak, saat binar bahagia tergambar jelas di wajah Mas Ibram justru saat ia bersama Rena? Belum pernah aku melihat Mas Ibram sebahagia itu saat menghabiskan waktu bersamaku.

Harga diriku hancur. Hatiku perih. Sangat perih. Apa yang bisa mengobati rasa ini, Tuhan?

Aku tergugu dengan membenamkan wajah pada setir. Berbagai rasa berkecamuk di kepala.

Dari segala sisi, rasanya para setan sedang menertawakan kepercayadirianku selama ini. Aku pikir, dengan diriku yang seperti ini, selamanya Mas Ibram akan mencintaiku, tetapi ternyata ....

"Aaagrh!"

Kurang apa aku padanya selama ini? Kurang apa? Segalanya aku serahkan dan percayakan kepadanya. Sedikitpun aku tak pernah berpikir dia akan berbohong kepadaku. Namun, yang terjadi ....

"Ya Allah .... Peluk aku, kuatkan aku!"

Aku meratap. Semakin nelangsa rasanya saat teringat anganku untuk menua bersamanya. Menikmati waktu berdua. Dengan jemari keriput yang saling menggenggam, kemudian dengan berbincang hangat menikmati secangkir teh di kala senja.

Namun, ternyata itu semua cukup sebagai angan saja. Sungguh, secinta apapun aku pada Mas Ibram, aku sudah tidak bisa. Diri ini sudah tidak akan pernah bisa menerima kehadirannya lagi.

Dia telah merendahkanku. Menyandingkanku dengan seorang seperti Rena. Itu benar-benar penghinaan.

Akan kubuat kamu merasakan ganjaran atas kelakuanmu, Ibram! Aku bersumpah! Langit bumi menjadi saksi betapa kamu telah tega menodai cintaku yang suci.

Kuhapus dengan kasar air mata yang membekas di pipi. Aku bertekad untuk bangkit. Tidak pantas aku terpuruk atas perbuatan murahan mereka.

"Cukup, Vi! Cukup! Enggak pantas orang seperti Ibram kamu tangisi! Kamu terlalu berharga untuk terluka oleh laki-laki sepertinya!"

Kutarik napas panjang. Kemudian dengan mantap menatap ke depan.

"Kamu bisa, Vi! Kamu pasti bisa!" Aku memberi semangat pada diriku sendiri.

Segera kupacu mobil ke butik Tania. Wanita itu pasti sudah menungguku di butiknya. Karena tadi aku mengabari akan ke sana.

Tak sampai lima belas menit, mobil kuparkir di pelataran parkir butik. Tampak butik masih cukup ramai. Segera aku melangkah memasukinya.

"Gimana?" sambut Tania saat melihatku berjalan di lantai satu.

"Keren!" ucapku acuh sembari melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Segera kudekati sofa dan menghempaskan tubuh di atasnya.

"Keren, gimana?" kejar Tania.

Aku tersenyum getir sembari menatap Tania. Dadaku kembali sesak mengingat kebersamaan mereka. Apalagi, saat kembali tergambar wajah bahagia Mas Ibram bersama Rena. Jantungku seperti diremas dengan kuat. Sangat sakit.

TERBONGKARNYA KEBUSUKAN SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang