bab 4

1.9K 170 4
                                    

"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?"

Kuangsurkan foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Bi Lasmi menerima foto itu. Kedua alisnya bertaut memandangi foto tersebut. Cukup lama. Karena memang gambar di kertas foto tersebut sudah cukup pudar. Tinggal menyisakan warna hitam keabuan dan putih kekuningan.

"Ini Ibrahim," ucapnya sembari menunjuk gambar Mas Ibram. "Yang ini Rani kayanya. Dulu anak itu rambutnya ikal dan ngembang begini," jelasnya saat menunjuk gambar wanita yang berdiri di samping Mas Ibram. "Tapi anak ini, Bibi belum pernah lihat."

"Oke, Bi. Makasih, ya."

Kuambil kembali foto tersebut. Akan kutunjukkan ini pada Mas Ibram nanti ketika bukti yang kukumpulkan sudah cukup. Berbicara tanpa bukti akan sangat mudah membuat Mas Ibram mengelak. Tak mungkin maling akan mudah mengaku ketika masih ada celah untuk berbohong.

Kutanyakan juga perihal rumah orang tua Mas Ibram. Ternyata memang benar. Rumah dan sawah peninggalan orang tuanya telah habis terjual sesaat setelah orang tua Mas Ibram meninggal.

Kata Bi Lasmi, ibu Mas Ibram meninggal tak lama setelah Mas Ibram kawin lari dengan Rani. Setelahnya, ayahnya sakit-sakitan. Bi Lasmi yang mengurus sampai lelaki malang itu akhirnya menyusul sang istri.

Mengetahui orang tuanya meninggal, Mas Ibram pulang sendiri tanpa Rani. Kemudian rumah dan sawah peninggalan orang tuanya dia jual. Karena Mas Ibram anak tunggal, maka hasil penjualan itu semua diambilnya.

Bahkan Bi Lasmi yang merawat ayahnya saja tak diberi sedikit uang itu. Padahal hubungan ayah Mas Ibram dengan Bi Lasmi itu ipar.

Setelah menjual semua tanahnya di kampung ini Mas Ibram kembali ke Kalimantan. Baru pulang lagi ketika mengabari akan menikah denganku. Lima tahun setelah kawin larinya itu.

Aku tak menyangka Mas Ibram sepelit itu pada saudaranya. Delapan tahun berumah tangga, ternyata masih ada sisi lain yang belum aku mengerti sepenuhnya.

Setelah banyak berbincang-bincang, aku dan Tania pamit untuk pulang. Bi Lasmi hendak membawakan oleh-oleh, tetapi aku tak mau. Nanti Mas Ibram bisa tahu kalau aku habis dari sini.

"Coba kamu lihat foto itu, Tan! Mirip enggak sama Rena?" Aku mengangsurkan foto itu pada Tania saat masuk ke mobil.

Tania tampak mengamati foto itu. Sementara aku mulai melajukan mobil.

"Udah enggak jelas gini, sih, ya, fotonya. Jadi susah ngenalinnya. Tapi kayaknya enggak mirip, sih. Rena kemarin rambutnya lurus gitu. Badannya juga berisi beda dengan wanita di foto ini," ucap Tania.

"Jadi Rani dan Rena bukan orang yang sama, ya, Tan?" tanyaku sembari fokus ke jalanan.

"Menurutku kalau dilihat dari foto ini, sih, gitu. Tapi bisa jadi mereka satu orang. Kan, foto ini udah lama juga. Penampilan, kan, mudah diubah."

"Masuk akal."

Lima jam perjalanan kami habiskan dengan mengobrol tentang Rani, Rena, dan Mas Ibram. Sampai akhirnya kami sampai di rumah Tania.

Aku kembali mengamati rumah baru Rena. Sama seperti tadi pagi. Petang ini, rumah itu cukup sepi. Tak terlihat aktifitas di dalam rumah dari luar. Karena semua kaca tertutup.

"Tenang! Kalau nanti aku lihat Ibram ke sini, aku laporin ke kamu," ucap Tania seolah mengerti kegundahanku.

"Makasih, ya!" ucapku sembari tersenyum pada Tania. "Aku langsung pulang aja, ya! Bentar lagi Ibram pulang."

"Iya, hati-hati, ya! Kamu harus main cantik. Jangan gegabah dari pada Ibram lebih rapat menyembunyikan kebusukannya itu!" pesan Tania.

"Sip!" Kuacungkan jempol kananku.

Tania turun dari mobil dan melambaikan tangannya padaku. Segera kupacu kembali mobil menuju rumah. Badanku sangat lelah. Aku ingin segera bertemu ranjang dan beristirahat.

Saat mobilku memasuki halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram sudah terparkir di garasi. Rupanya dia pulang lebih cepat dari biasanya.

Saat aku memasuki rumah, Mas Ibram terlihat sedang bermain dengan Cahaya. Mereka asyik bercanda di ruang keluarga.

Semanis itu hubungan kami. Aku sama sekali tak menyangka kalau Mas Ibram bisa membohongiku. Kupikir dia lelaki yang terbaik untukku dan Cahaya. Namun, kenyataannya dia sudah berbohong kepadaku.

"Mama!" seru Cahaya saat menyadari kehadiranku. Anak itu langsung berlari menghambur dalam pelukanku.

"Udah makan?" tanyaku.

"Udah, tadi disuapin Papa," jawab Cahaya.

Mas Ibram memang sangat memanjakan putrinya. Ah, bagaimana nanti kalau lelaki itu terbukti melakukan kesalahan besar kepadaku? Tegakah aku memisahkan Cahaya dari cinta pertamanya?

"Ya, udah. Mama mandi dulu, ya? Lengket banget badan Mama," pamitku pada Cahaya. Kemudian beranjak ke kamar.

Tiba di kamar, aku menghubungi Alvin, manager keuangan di kantor Mas Ibram. Aku ingin tahu dengan detail keuangan di minimarket yang dikelola oleh Mas Ibram.

Dulu awal menikah denganku, Papa mempercayakan dua minimarketnya pada Mas Ibram. Dan sekarang Mas Ibram sudah bisa mengembangkannya menjadi delapan. Itu sebabnya Papa sangat bangga pada menantu pilihannya itu.

[Vin, aku mau data real! Awas kalau kamu sampai ketahuan memanipulasi! Meskipun Pak Ibram yang mengelola, usaha ini milikku. Aku yang punya wewenang bukan Pak Ibram!] Kukirim pesan itu pada Alvin.

Sengaja aku berkata begitu, karena aku yakin di antara Mas Ibram dengan Alvin, pasti ada hal-hal yang tidak kuketahui. Sekali Mas Ibram ketahuan berbohong, sangat sulit untuk aku bisa percaya kepadanya lagi. Bahkan sepertinya tak bisa.

Tak berselang lama balasan dari Alvin kudapat.

[Baik, Bu. Tunggu sebentar!]

Tak sampai lima menit kemudian, Alvin mengirimkan dokumen melalui emailku. Segera saja kubuka dokumen tersebut. Kucari posisi nyaman dengan duduk di sofa kamar. Butuh konsentrasi penuh untuk melihat hal yang janggal pada data seperti ini.

"Ma, kok, belum mandi?" Bariton yang begitu kukenal membuatku terkejut.

"Oh, iya. Sebentar lagi," jawabku setelah menoleh sekilas pada Mas Ibram.

"Habis darimana sampai jam segini?" tanyanya sembari berjalan mendekatiku.

Segera saja kututup email dari Alvin. Aku tak mau Mas Ibram mengetahui kalau aku sedang menyelidikinya.

"Jalan sama Tania," jawabku sembari mematikan layar ponselku.

"Oh, ya, sudah, sana mandi dulu!" pintanya.

"Hm." Aku segera beranjak. Memasukkan kembali ponselku ke tas. Aku juga sudah mengubah sandi ponselku. Karena sebelumnya antara aku dan Mas Ibram saling terbuka masalah ponsel.

Aku mandi cukup lama. Sengaja. Karena aku ingin Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku ingin fokus melihat data yang Alvin kirim.

Perkiraanku tepat. Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Melihat itu, aku melangkah dengan berhati-hati. Karena aku tak ingin Mas Ibram sampai terbangun.

Segera saja aku mengambil ponsel dan kembali ke sofa. Tak peduli aku masih mengenakan handuk kimono ini. Aku ingin segera mengecek data keuangan kantor.

Kuamati tiap kolomnya. Taka ada pengeluaran yang tak wajar. Semua tampak normal. Sampai gaji karyawan. Iseng kubaca satu persatu nama karyawan di delapan minimarket kami. Mulai dari pramuniaga, kasir, sampai supervisor.

Dahiku mengernyit saat melihat ada yang beda dengan minimarket cabang ke lima. Ada dua orang supervisor. Padahal semua minimarket hanya ada satu supervisor.

Kenapa ini ada dua?

Segera saja kucari daftar nama supervisor. Ketemu. Kuurut satu persatu. Dan, ya, aku menemukan sebuah nama.

Rena Andini.

Supervisor bermana Rena Andini itu tak punya biodata dan kelengkapan lainnya. Hanya sebuah nama.

Mungkinkah dia Rena yang Mas Ibram akui sebagai sepupunya? Kalau benar, apa sebenarnya hubungan mereka? Apakah Maharani dan Rena Andini adalah orang yang sama?

TERBONGKARNYA KEBUSUKAN SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang