*37- Perlu Bicara*

26 9 10
                                    

"Kok, jadi gue, sih?"

Faiz mendengkus sebal. Meskipun sebenarnya malas, laki-laki itu tetap menghampiri Ara yang kini tengah terduduk lemah di bangku paling depan. Faiz bisa saja pergi dan mengabaikan suruhan Bastian, tetapi ia tentu harus siap jika besok mendapat omelan panjang dari laki-laki itu.

"Hoy, ayo pulang. Gue anterin," ucap Faiz dengan nada malas.

Ara mengembuskan napas kasar, lantas menatap Faiz tajam. "Mau apa lo? Jangan sok peduli, deh. Atau lo emang merasa kasihan juga ke gue sama kayak Bastian?"

"Weh!" Faiz lantas menggebrak meja hingga membuat Ara sedikit terlonjak. Bukan karena marah, Faiz hanya iseng dan ingin mengagetkan gadis itu saja. "Kalau gak disuruh sama si Tian, gue juga gak mau kali nganterin lo!" ucap Faiz sambil mendelik ke arah Ara.

Ara hanya diam, lantas memalingkan wajah ke arah samping, tak berniat merespon laki-laki di depannya itu.

"Dengerin gue, ya!" Faiz maju beberapa langkah, lantas duduk di atas meja. Tepat di depan bangku yang Ara duduki. "Lo gak ngerasa kalau Bastian itu peduli sama lo? Lo gak liat, meskipun dia marah, dia tetep mikirin nasib lo, dia tetep nyuruh gue nganterin lo. Padahal, kalau dia mau, dia bisa aja nggak usah repot-repot nyuruh gue. Biarin aja sore-sore gini lo pulang sendirian. Nunggu angkot yang entah kapan datangnya. Ngebiarin lo luntang-langtung kayak gembel karena gak ada yang mau nganterin lo. Bastian bisa aja ngelakuin itu, tapi buktinya enggak, kan?"

"Dia ngelakuin itu semua karena kasian, bukan bener-bener peduli!" bantah Ara.

Faiz tertawa pelan. "Gue yakin lo juga ngerasa kalau Bastian tulus peduli sama lo. Cuma perlu lo garis bawahi, dia peduli sebagai seorang teman, gak lebih," jelas Faiz. "Ish, tapi emang, ya, cewek itu suka nganggep sesuatu itu berlebihan. Emang serba salah jadi cowok." Faiz bergumam sendiri. Entah ia sedang berbicara pada siapa sekarang.

Ara masih tetap memilih diam, mencerna semua perkataan yang diucapkan Faiz.

"Menurut gue, banyak, kok, orang yang peduli sama lo, cuma lo nya aja yang gak mau dipeduliin. Gue yakin Alya atau Caca sering tanya, 'lo kenapa?' ketika mereka ngerasa ada yang beda dari lo, tapi lo nya sendiri yang gak mau ngomong sama mereka. Alya dan Caca juga manusia biasa, mereka gak bakal langsung tau tanpa lo kasih tau. Lo itu terlalu sibuk mengemis kepedulian sama orang yang lo harapkan sampe membuat lo mengabaikan banyak orang yang sebenarnya udah tulus peduli sama lo." Faiz kembali melanjutkan ucapannya. Ia sedikit meringis, tak percaya jika ia bisa bijak seperti sekarang.

Ara mendongkak, menatap lekat laki-laki yang sedari tadi bicara itu. Ara seolah tertampar dengan ucapan Faiz. Apa benar ia seperti itu? Apa benar selama ini bukan orang-orang yang tak mau peduli, tetapi justru Ara sendiri yang menutup diri?

"Elah, kenapa jadi banyak omong kayak gini, sih? Jadi, mau pulang bareng gak ini? Kalau gak mau, ya, gak papa, gue pulang sendiri." Faiz pun bangkit, lantas menatap Ara sekilas yang terlihat masih menimbang-nimbang ajakannya.

"Ya udah, gue pulang sama lo," balas Ara akhirnya. Lagi pula benar kata Faiz, ia bisa-bisa kayak gembel kalau memaksakan pulang sendiri apalagi dengan uang pas-pasan yang ia punya sekarang.

"Nah, dari tadi, kek. Perlu diceramahin dulu, baru mau lo!" cibir Faiz. "Ya udah, ayo. Keburu makin sore nanti."

Ara pun hanya mengangguk, lantas mengikuti langkah Faiz dengan pikiran yang sudah sedikit lebih tenang.

***

Bastian buru-buru turun dari motor setelah sampai di halaman depan rumah Alya. Di teras terlihat Caca, Galang, serta Tiwi tengah berdiri memperhatikan kedatangannya. Dengan langkah cepat, Bastian langsung menghampiri ketiganya dengan perasaan khawatir yang sedari tadi belum juga hilang.

Di Balik Diam [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang