Matrealistis atau Realistis

5.1K 539 72
                                    

Dulu sekali, pernah satu kali Renjun diberi nasihat oleh seseorang. Tidak tahu itu memang benar atau tidak, kejujuran atau omong kosong belaka, yang jelas, ia melihat raut keseriusan dalam sepasang mata. Dua pertiga pikirannya nyaris terpenuhi oleh kata-kata itu selama beberapa hari.

Bahwa, hidup ini tidak semua tentang kejujuran dan cinta. Dalam setiap fase, kita akan selalu dihadapkan dengan dua pilihan. Saat kecil kita akan dihadapkan dengan pilihan untuk terus bermanja atau mulai membiasakan diri dengan hal-hal dilingkungan sekitar. Lalu beranjak remaja, beberapa hal kembali muncul. Fase ini yang membentuk diri menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dan saat dewasa tiba, pilihan lebih berat akan muncul.

Renjun pernah ditanya, akan seperti apa hidupnya saat menghadapi fase dewasa nanti. Matrealistis atau berpura-pura menjadi orang lugu. Saat itu mungkin pertanyaan semacamnya belum bisa ia jawab secara pasti. Sebab, dirinya dengan pemikiran pendeknya tidak bisa membedakan yang seperti apa matrealistis itu. Apakah seseorang yang selalu memanfaatkan harta orang lain? Atau seseorang yang melakukan sesuatu dengan mengharapkan timbal balik?

Namun pemikiran-pemikiran itu tertepis setelah sekian lamanya. Memasuki fase yang disebut-sebut orang sebagai fase mengerikan dalam hidup, Renjun paham. Sangat paham. Dewasa ini, bukan lagi tentang kasih sayang atau cinta yang dibutuhkannya dalam hidup. Sudah semestinya ia memikirkan kelayakan hidupnya dalam jangka waktu panjang. Akan menjadi seperti apa dirinya lima atau sepuluh tahun ke depan. Akan bagaimana ia menjalani hidup yang memang banyak lika-liku ini.

Hidup sebatang kara dikota orang serta lingkungan ramai tak serta membuatnya merasa ditemani. Melakukan segala hal sendirian. Termasuk menghidupi diri sendiri.

Sekarang, Renjun menganggap 'matrealistis' bukan lagi hal yang memalukan. Dalam hidup, matrealistis memang dibutuhkan. Segala sesuatu memang membutuhkan timbal balik yang setimpal, atau setidaknya mendekati. Renjun realistis, saat seseorang meminta sesuatu padanya, maka orang itu harus siap saat dirinya meminta hal lain. Hukum alam memang begitu, tidak ada manusia yang benar-benar ikhlas saat dimintai bantuan, tidak akan ada hati yang lapang begitu saja.

Dalam kegamangan dan lamunan yang semakin lama semakin runyam, matanya tak berhenti memandangi langit ibu kota yang hanya memperlihatkan bulan sabit. Udaranya tak sesejuk udara di pedesaan, cukup panas. Setiap kali berhenti dari kegiatan panasnya, ia akan memilih balkon apartemen sebagai pelarian. Hanya menggunakan bathrobe yang masih memperlihatkan dadanya.

Sejak kecil dirinya hanya mendapat didikan dari ibu, itupun hanya sampai usia tujuh tahun. Karena setelah itu, ibu meninggal karena kanker payu dara yang dialaminya. Mungkin jika saat itu dirinya hidup dalam keluarga yang memiliki harta cukup, ia tidak akan kehilangan ibunya secepat itu. Mungkin jika pada saat itu dirinya sudah mampu untuk mencari uang sendiri, akan Renjun usahakan kesembuhan untuk ibunya. Namun sayangnya, angan hanyalah angan. Seberapa keras ia meminta kembali ke masa itu, tidak akan pernah yang mendengarkan. Sekarang, sosok cantik berhati malaikat itu sudah berada dipelukan sang pencipta.

Renjun tak begitu hafal, bagaimana perangai ayahnya. Ibunya selalu bercerita bahwa ayah adalah sosok dermawan. Hatinya lembut walau dia lelaki, selalu memberi apapun yang dapat diberinya pada orang yang lebih membutuhkan. Bahkan jika saat itu hanya ada dua bungkus nasi untuk makan dengan lauk seadanya, ayah rela memberikan bagiannya pada orang jalanan yang ditemuinya. Dalam hati, Renjun selalu menyesal. Mengapa ia tak bisa bertemu dengan sosok hebat yang kerap kali diceritakan ibunya. Jika ada kesempatan, ia ingin sekali memeluk tubuh tegap yang pernah ia lihat dalam figura usang milik ibu, yang sayangnya sosok itu telah lebih dulu berpulang sebelum ibunya.

Seperkian menit dirinya berada dalam lautan lamunan hingga tak mampu keluar dari dialog pikirannya sendiri. Asap tipis mencapai penciumannya. Hal biasa memang, namun ia tak pernah terbiasa dengan itu. Saat tembakau bernikotin itu dinyalakan dengan pemantik api. Lalu sang empunya menyesapnya dalam-dalam.

Cigarette | JaeRen [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang