Sebuah Permintaan untuk Berhenti

1.5K 177 34
                                    

"Ini yang ibu takutkan, Javian."

Suara gemetar satu-satunya wanita disana terdengar setelah sekian lama terdiam. Matanya menyorot syarat akan kecewa pada dua anak manusia dihadapannya. Lalu beberapa detik setelahnya, ia palingkan pandangan ke arah lain.

"Awalnya ibu gak mau berpikir yang macam-macam sama kalian. Ibu masih mau percaya setelah melihat gerak-gerik kalian tempo lalu. Kamu pikir Ibu gak sadar? Ibu sadar, Javian. Sangat sadar!" Wanita itu memandang dalam putra semata wayangnya. Dalam sepasang bola matanya, tergambar jelas kecamuk perasaannya. "Ibu mana yang rela anaknya menyimpang seperti ini?!" tanyanya lebih nyaring dari sebelumnya.

Jaehyun termenung, menatap meja dihadapannya dengan tatapan kosong. Kedua tangannya tertaut diatas pangkuan. Perasaan bersalah membuncah begitu besar. Ia tak punya muka untuk sekedar membalas tatapan ibunya.

"Ibu kecewa, Ibu marah, Ibu sakit hati, Javian." Wanita itu menunduk, melepas tangis yang ditahannya sejak tadi. Tangannya memukul kepala beberapa kali, seakan ingin menyadarkan dirinya sendiri, bahwa inilah kenyataan yang harus ia hadapi.

Renjun bungkam, tak tahu harus bersuara seperti apa. Ia seakan dikuliti hidup-hidup. Tak berbeda jauh dengan Jaehyun, ia pun malu, sangat malu. Hatinya ikut terenyuh melihat hancurnya wanita yang telah melahirkan Jaehyun itu.

"Kenapa harus kamu? Kenapa harus dia?" tanya wanita pertengahan empat puluh itu bergantian memandang Jaehyun dan Renjun. "Berapa banyak perempuan yang Ibu kenalkan ke kamu? Kenapa kamu lebih memilih dia dibanding puluhan wanita yang sudah jelas tidak melanggar aturan dan norma?!" pekiknya diakhir kalimat.

"Ibu lahirkan kamu, Ibu rawat kamu, dan Ibu juga yang mengasuh kamu dengan tangan Ibu sendiri. Banyak sekali harapan yang Ibu semogakan padamu, tapi kenapa kamu dengan mudahnya buat perasaan Ibu hancur?" Lanjut ibu Jaehyun. Pipinya telah berlinang air mata. Tak lagi dapat membendung emosi yang turut hadir dalam dadanya. Kepalanya terus berpikir rasional tentang keadaan yang menurutnya salah itu.

"Ibu-"

Ucapan Jaehyun terpotong saat pintu apartemennya terbuka. Pria setengah abad memasuki ruangan dengan langkah tenangnya. Bahkan rautnya terlihat lebih tenang kendati ia sudah tahu tentang keadaan yang tengah berlangsung.

"Kembali, Javian."

"Bu-"

"Kembali... Ibu mohon, Nak. Ibu mohon... kembali," lirih sang ibu penuh nada permohonan. Bahkan wanita itu menyatukan tangannya didepan dada, tubuhnya ia rendahkan hanya untuk anaknya. "Kalian pantas bahagia, bebas memilih pasangan. Tapi gak seperti ini, ini salah."

Renjun mengangguk. Ia memandang jemarinya sendiri yang gemetar bukan main. Ia pandangi cincin yang semalam disematkan Jaehyun diam-diam dijari manisnya. Senyum miris terbentuk dibibir pucatnya. "Iya, saya kembalikan anak Ibu," ucapnya lirih. Ia raih bahu sempit wanita yang berjasa atas hidup Jaehyun itu untuk kembali duduk dengan tegap. "Ibu tidak pantas memohon pada manusia hina seperti saya."

"Ra-"

"Ibu kamu benar. Kita ini salah. Gak seharusnya kita begini."

"Kita punya rasa, apa salah? Katanya bebas, tapi begini masih dipermasalahkan?" tanya Jaehyun dengan lantangnya. Pikirannya kalut, yang ada dihatinya kini hanyalah sebuah ketakutan. Takut ditinggalkan, takut tak lagi mendapat pengakuan.

"Jelas salah!" Ibu Jaehyun kembali berujar keras.

"Javian," panggil Renjun lembut, walau tidak bisa dihindari suaranya serak dan parau. "Udah, ya? Sampai kapan pun, kita memang gak bisa dibenarkan. Terima, ya? Kita selesai," katanya memandang tepat pada sepasang iris bergetar Jaehyun.

Cigarette | JaeRen [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang