2. LUKA YANG HADIR

264 43 7
                                    

2. LUKA YANG HADIR

Cewek berseragam sekolah di balut dengan cardigan berwarna biru pastel berdiri di hadapan cermin. Memastikan kalau penampilannya sudah rapih.

Litta perempuan yang menyukai warna biru pastel. Kebanyakan barang miliknya pun berwarna sama. Seperti kamar nya, tempat ia berdiri sekarang di cat dengan warna favorit dan di kombinasikan dengan warna putih. Menciptakan suasana yang segar dan menenangkan. Selain itu banyak bukaan jendela sehingga kamarnya selalu terang.

Litta keluar dari kamarnya setelah dirasa penampilannya rapih. Menuruni anak tangga berjalan menuju pintu depan. Hari ini ia tidak sarapan di rumah karena Zeline, temannya tiba-tiba mengirimkan pesan bahwa ia membawa dua bekal untuknya dan Zeline. Dasar Zeline.

Saat sampai di teras depan mata Litta disuguhkan kehadiran Luna yang sudah duduk manis. Dengan satu kaki naik ke atas pahanya. Tumben sekali, pikir Litta. Biasanya adiknya itu tidak bangun pagi-pagi untuk berangkat ke sekolah.

Luna bangun dari duduknya menyadari kehadiran sang kakak, “Kita pura-pura gak kenal aja ya di sekolah,” ujar Luna. Berdiri di depan Litta sambil bersedekap dada.

“Kenapa?” tanya Litta berusaha terlihat biasa.

Jujur saja dalam hatinya ia merasakan kecewa yang luar biasa ketika mendengar adiknya berkata seperti itu. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Apa alasan Luna tidak mau saling kenal dengannya ketika di sekolah?

Luna terlihat berfikir lalu menjawab. Jawaban yang berhasil membuat perasaan Litta hancur. “Pengin aja,” jawab nya santai.

“Kita juga berangkat masing-masing aja gak usah bareng,” lanjut nya.

Litta mencekal tangan Luna saat ia akan memasuki sebuah mobil sedan Civic berwarna putih yang terparkir di garasi samping teras. “Ini mobil gue dari ayah,” ucapnya tidak mau kalah. Sengaja menekankan kata ‘gue’ sebagai peringatan.

Litta masih ingat ketika usianya menginjak 16 tahun, Ayahnya memberikan hadiah sebuah mobil untuknya. Ketika usianya sudah 17 tahun ia mengemudikan mobil itu dan mengendarai ke sekolah. Namun, tidak lama karena mobil pemberian Ayahnya sering digunakan oleh Luna. Adiknya keras kepala saat diberitahu, padahal usianya masih belum membolehkan ia mengemudi.

“Ya terus kenapa? Emangnya gak boleh? Ayah lo kan ayah gue juga,” cerocos Luna. Memandang sinis kakak nya. Tidak terima dengan pengakuan Litta.

“Lo gak sayang sama gue?”

Luna mengeluarkan kartu AS nya. Membuat Litta merasa serba salah berada dalam situasi yang seperti ini. Di balik kalimat ‘Lo gak sayang sama gue?’ Litta menderita. Litta tersiksa dan harus selalu terpaksa mengalah. Memberikan semuanya untuk Luna.

“Hm,”

Luna tersenyum menang. “Nah, gitu dong! Lagian lo gak cocok naik mobil mewah ke sekolah. Jalan kaki seribu kali lebih cocok buat lo,” hina Luna.

Luna masuk ke dalam mobil dan mengendarai nya meninggalkan Litta. Litta menarik napasnya dalam. Memejamkan matanya sekejap berusaha meredam emosinya.

* * *


Litta baru saja masuk ke dalam sekolah. Setelah menghabiskan waktu lima belas menit dengan naik ojek online. Kedatangan perempuan berambut gelombang dengan warna sedikit cokelat itu ternyata sangat dinantikan oleh temannya.

Terlihat Zeline yang menyandarkan punggungnya pada bagian belakang mobil dengan mata yang menyipit menatap Litta. “Lama banget sih lo!” sewot nya.

“Lo mau bikin gue mati kelaparan?” membawa sebuah paper bag berukuran besar di tangannya. Litta menggelengkan kepalanya. Teman nya satu ini selalu saja berlebihan. “Gak makan sehari gak akan buat lo mati,”

Meskipun Zeline berisik tapi kehadiran nya dalam hidup Litta sangat berarti untuknya. Perempuan keras kepala itu selalu menjadi penguat di kala Litta sedang rapuh. Selalu berada di garis depan untuk melindungi nya.

“Tetep aja gue lapar,” Zeline menarik tangan Litta yang jalannya super lambat itu. Biasa temen gue satu ini kan anggun. “Ayo! Makan,”

“LITTA,”

Langkah kedua remaja perempuan itu terhenti. Seseorang yang memanggil dari arah belakang membuat mereka membalikkan tubuhnya. Melihat siapa yang baru saja berteriak. Zeline berdecak ketika tahu siapa yang memanggil nama sahabatnya itu.

ES, lelaki tinggi berseragam sekolah acak-acakan. Berjalan mendekati mereka. Seperti biasa Litta mengembangkan senyum di bibirnya. Yang kata orang-orang, manis.

“Nih,” ES memberikan beberapa lembar kertas yang digabungkan menjadi satu menggunakan paper clip pada Litta.

Litta menerimanya dengan hangat. “Gue cek dulu ya,”

“Ngapain sih lo pake datang sekarang, gak tau apa kalau gue lapar,” Zeline kesal dengan kehadirannya.

ES menoleh sebentar, “ Emang gue gak tau,” jawab lelaki itu datar.

Mata Zeline melebar. Lelaki dengan bandana warna hitam yang melingkar di kepalanya berhasil membuat Zeline kesal setengah mampus! “Dasar ES batu!”

“Es batu bikin adem,” celetuk ES.

“Tapi kehadiran lo di sini malah bikin udara pagi jadi panas!” murka Zeline. Tangannya bersedekap dada.

Sementara itu Litta masih fokus meneliti setiap lembaran kertas. Matanya cokelat nya bergerak ke atas dan bawah membaca tiap kata yang tertulis di atas kertas putih tersebut. Keningnya mengerut saat ia tidak mendapatkan apa yang di carinya.

“Kayanya lo salah ngasih dokumen deh, soalnya ini gak ada isinya,” ujar Litta dengan kepala mendongak.

“Lo pikir gue bakal isi dokumen itu?” Litta dan Zeline sama-sama terkejut. Keduanya saling melempar tatap.

“Maksud lo?” tanya Litta. Sedangkan Zeline cengo bingung dengan jawaban yang diberikan ES. Banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya.

ES terkekeh. “Litta-Litta, lo pikir gue mau kerjasama bareng lo,”

“Bodoh!” umpat ES. “Denger baik-baik Litta. Tujuan gue gabung dalam masa periode OSIS lo bukan buat bantu kinerja lo makin baik. Justru, gue bakal buat lo buruk di mata semua orang. Sampai semua orang nyesel udah pilih lo sebagai ketua OSIS. Dan ini adalah waktu yang tepat buat menghancurkan hidup lo. Di detik terkahir jabatan lo.”

Litta masih tetap tenang, membiarkan kalimat ES keluar dari mulutnya. Menahan amarah yang sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Berbanding terbalik dengan perempuan yang berdiri di sampingnya.  Zeline mengepalkan tangannya kuat. Perkataan ES berhasil memancing jiwa lelakinya keluar. Memandang ES dengan nyalang

“Dan ini,” ES mengambil dokumen yang sedang di pegang Litta, “apa gunanya lo jadi ketua OSIS kalau masih nyuruh-nyuruh gue,” Lelaki itu melemparkan dokumen tersebut tepat ke wajah Litta.

Zeline yang sudah naik darah sejak tadi tidak terima dengan perlakuan yang diterima temannya. Ia menunjuk wajah ES dengan jari telunjuk nya. “ES lo—,”

“Gue gak ada urusan sama lo!”

ES mendekati Litta. Membisikan sesuatu di telinganya. “Selamat hidup dalam kehancuran SHA-LIT-TA,” tertawa di akhir kalimatnya. Menepuk pundak Litta kuat lalu pergi begitu saja.

***

Hai, salam kenal🖐
Terimakasih yang sudah membaca🌈

SHALITTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang