5. apa yang terjadi?

2 2 0
                                    


Claraya menatap macbook didepannya dengan serius. Menonton film saat grimis begini memang sangat lah mantul. Raya meringis ketika ada adegan bunuh-membunuh disana.

"Yaya! Tolong beliin mama gula di mini market depan nak."

Yaya yang mendengar itu mempause film di macbooknya dan berjalan menghampiri sang ibu.

"Uangnya dimana? Yaya sekalian mau beli baso kang ujang."

"Uangnya dimeja makan. Jangan lupa pake payung ya. Grimis nanti kamu pusing."

"Iya maa, yaya berangkat dulu mah."

Yaya berjalan kecil dengan payung dilengan kanannya. Setelah sampai raya masuk kedalam mini market untuk mencari apa yang ia butuhkan.

"Jadi 25 ribu kak." Ujar sang kasir.

"Terimakasih mba."

Yaya menatap sekeliling mencari tukang baso yang biasa ia beli, namun tidak ada. Yaya masih berinisiatif untuk mencari lebih jauh namun tetap tidak ada. Sepertinya ia harus menelan kekecewaan untuk perutnya. Karena tukang baso itu tak kunjung kelihatan dari tadi.

"Kayanya kang ujang gak jualan." Ujar raya lesu, kemudian ia berjalan ogah-ogahan untuk kembali kerumahnya. Namun ia mendengar rintihan seseorang ntah siapa. Yaya menghentikan langkahnya untuk memastikan apa pendengarannya baik-baik saja? Namun ternyata rintihan itu masih terdengar. Yaya mencari kesana kemari hingga akhirnya ia menemukan gang sempit yang sedikit remang-remang karena tidak ada lampu disana, hari pun semakin sore.

"Ada orang kah?" Napas yaya tercekat kala melihat seorang lelaki dengan darah dikepalanya. Ia sampai menjatuhkan gula yang ada ditangannya.

"Kenapa bisa begini?" Yaya panik setengah mati. Ia berusaha membangunkan pria itu tapi sepertinya sudah kehilangan kesadarannya.

Ia sangat terkejut ketika melihat dengan jelas siapa pria berdarah-darah ini.

"T-theo? Heh! Kenapa bisa begini? Siapa yang lakuin ini sama lo?" Tangan yaya bergetar melihat keadaan theo yang mengenaskan.

Dengan tenaganya ia memapah tangan theo dipundaknya. Untung saja rumahnya tidak jauh dari sini.

"Mamaa!! Tolongin aku mah!" Teriak yaya didepan rumah. Baju dan rambutnya sudah basah terkena hujan karena payungnya ia tinggal lorong tadi.

"Astaghfirullah ini kenapa nak? Kamu bawa siapa ini?" Mama raya terlihat panik sama halnya seperti raya.

"Nanti yaya jelasin mama bantu yaya bawa dia kekamar." Tanpa babibu mama raya memapah sebelah lagi tangan theo dan membawanya ke kamar raya.

"Kok bisa begini yaya? Dia siapa?" Tanya mama yaya.

"Dia temen sekolah yaya mah, yaya juga gak tau kenapa dia bisa begini. Yaya nemuin dia dideket gang sempit yang letaknya gak jauh dari mini market."

"Yallah kasihan sekali. Yaudah kalo dia udah bangun nanti kamu obatin lukanya, mama mau siapin makan dulu."

Claraya menatap dalam wajah theo yang terlihat tenang saat tidak sadarkan diri. "Kenapa tuhan demen banget mempertemukan lo sama gue? Bahkan dalam situasi seperti ini pun gue yang harus jadi penolong lo."

Yaya menghela napas pelan kemudian membuka hpnya untuk menghubungi ayu.

Nomor yang anda tuju saat ini tidak dapat menerima panggilan.

"Si ayu, kenapa di teleponnya susah bener si? Di chat juga gak aktif. Gak tau apa dia sepupunya lagi skarat begini." Kesal yaya. Ia pun mencoba menghubungi kembali berharap ayu dapat mengangkat teleponnya.

Mata yang terpejam itu perlahan terbuka iris cokelat itu mampu membuat siapa saja terpesona akan keindahannya.

Ia meringis sambil memegang kepalanya pelan. Theo menatap sekitarnya. Ini bukan kamarnya, dan siapa gadis yang sedang komat-kamit didepannya ini?

Claraya berbalik saat mendengar ringisan seseorang. "Lo udah bangun?" Tanya yaya.

"Kenapa gue bisa disini?" Suara rendah itu terdengar menyapa telinga yaya.

Yaya dengan inisiatif nya memberikan minum terlebih dahulu untuk theo. "Nih minum dulu."

Saat yaya mencoba membantunya theo memalingkan wajahnya. "Gue bisa sendiri."

Claraya mendengus mendengar itu." Gak usah bandel. Tangan lo aja luka dua-duanya gimana mau pegang gelas?" Theo menatap ragu kearah gelas yang raya sodorkan. Tapi kemudian ia meminumnya hingga tandas. Perhelahian itu membuatnya hilang banyak tenaga.

"Tunggu bentar."

Theo menatap yaya saat keluar dari kamarnya. Ntah apa yang akan diambil oleh gadis itu. Kemudian netra cokelat theo menatap sekeliling kamar ini. Benar-benar kamar khas wanita. Semua tertata dengan rapi. disamping tempat tidur ada banyak novel berjejeran. Serta foto-foto gadis itu saat masih kecil hingga sekarang terpajang di dinding maupun meja belajar.

Theo menutup matanya sebentar menikmati bau khas dari kamar gadis itu. Bau apel. Theo sangat suka bau ini. Tidak terlalu menyengat sangat menenangkan.

Ia membuka matanya saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Yaya dengan nampan berisi bubur dan kotak p3k itu menghampiri theo.

"Sini gue obatin." Ujar claraya. Theo hanya diam sambil menatap tangan mungil itu sedang meneteskan obat di kapas.

"Shhhh!" Theo meringis membuat yaya juga ikut meringis merasakan betapa perihnya obat ini ketika menempel diluka itu.

"Tahan ya." Yaya kembali mendekatkan kapas itu disudut bibir theo." Jantung mereka berdetak sangat cepat tanpa mereka sadari. Raya mendadak gugup saat ditatap intens oleh theo jarak mereka terbilang sangat dekat hingga keduanya merasakan deru napas masing-masing.

Yaya bernapas lega ketika ia telah selesai mengobati luka disudut bibir theo. Kemudian ia meraih tangan theo dan meletakannya dipaha agar lebih mudah untuk diobati.

Pantheo menatap dalam gadis didepannya kemudian ia bersuara. "Kenapa lo lakuin ini?" Tanya nya dengan suara rendah.

"Apa?"

"Obatin luka gue." Theo menjeda kalimatnya sampai akhirnya kembali bersuara. "Gue nyesel ketemu lo pantheo imanuel. Lo bahkan sangat fasih dalam nyebut nama gue saat itu." Ah! Yaya paham maksud dari lelaki didepannya ini.

"Terus lo pikir gue tega gitu ninggalin lo dalam keadaan gak sadar terus dipenuhi luka? Gue gak sekejam itu theo. Gue masih punya rasa kemanusiaan. Gue emang kesel sama lo karena lo udah buat hidup gue gak tenang di sekolah. Tapi bukan berarti gue bakal tega ninggalin lo saat lo keadaan kaya tadi."

Theo hanya diam tidak menanggapi.

"Mana tangan lo satu lagi."

Theo kembali menatap gadis didepannya ini yang telaten mengobati lukanya.

"Selesai. Sekarang lo harus makan."

"Gue harus balik." Theo sudah berdiri namun tangannya ditahan oleh gadis disampingnya ini.

"Mama gue udah buatin makan. Hargain dikit kek!" Mendengar itu theo kembali duduk dikasur.

"Gue bisa sendiri." Ujar theo ketika melihat raya yang sudah ancang-ancang akan menyuapinya.

Yaya mengedikan bahunya acuh, toh dia hanya menawarkan karena takut lelaki didepannya ini tidak bisa memegang sendok karena kedua tangannya yang luka. Jika tidak mau disuapi juga tidak apa tidak rugi baginya. Ia pun kemudian menyerahkan mangkuk berisi bubur hangat itu ke theo.

"Sebenernya apa yang terjadi sama lo?"

Sendok ditangan theo terhenti saat hendak menyuapkan bubur itu kemulutnya. Kemudian ia menatap wajah manis raya dengan dalam.

"Jangan kepo sama hidup gue. Karena kalo lo udah tau sesuatu gue gak akan lepasin lo."

∆∆∆



Tbc

PANTHEO (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang