Perpisahan Tersirat

24 2 0
                                    

Malam hari, Nando pulang ke rumah tepat jam 2 pagi dengan wajah yang lesu. Ketika pria itu memasuki kamarnya dengan sang istri, tampak Sekar yang masih terjaga dengan raut wajah khawatirnya. Pasalnya, Nando tak pernah pulang larut malam bahkan sampai sepagi ini tanpa mengabari Sekar atau Zia terlebih dahulu.

"Ada apa mas?" Tanya Sekar lembut saat melihat raut wajah lesu dan lelah suaminya.

"Ada masalah di kantor cabang yang ada di Makassar ma. Sebulan lagi kita pindah ke sana ya? Soalnya di Makassar pasti lama." Ujar Nando.

"Tapi gimana soal sekolah Zia? Apa Zia akan mau mas? Sebentar lagi juga mereka akan ujian akhir sekolah." Tanya Sekar. Tidak masalah jika dirinya diboyong ke Makassar. Tapi bagaimana dengan Zia? Putrinya itu sangat keras kepala. Pastinya dia tidak akan mau pindah ke Makassar secara dadakan begini. Jika Zia ditinggalkan di sini pun Sekar tak akan mau. Ia tidak bisa mempercayai siapapun untuk menjaga dan melindungi putri kesayangannya.

"Besok kita bicarakan dengan Zia ya ma? Mas capek." Nando masuk ke walk in closet dan mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan yang nyaman di pakai. Pria itu benar-benar lelah saat ini bahkan ia langsung terlelap ketika merebahkan tubuhnya di kasur. Sekar yang melihat suaminya sudah tertidur pun langsung merebahkan tubuhnya di samping sang suami.

***

"Pagi ma, pagi pa." Sapa Zia saat baru saja duduk di kursi meja makan.

"Pagi sayang." Balas Nando dan Sekar berbarengan.

"Mama, Zia mau roti aja. Nggak mau nasi goreng." Ujar Zia saat melihat Sekar sudah ingin menyiapkan nasi goreng untuknya.

"Kata Lintang kemarin kamu pingsan Zi? Kenapa nggak bilang sama mama papa? Sekarang kamu makan nasi jangan roti." Kata Sekar dengan nada tegasnya.

Zia mendelik kesal. Memang yah si Lintang itu tukang ngadu. Padahal Zia tidak mengatakan pada mamanya kalau ia pingsan karena tidak ingin membuat Sekar khawatir. Tapi dengan seenak jidatnya Lintang mengadu pada Sekar.

"Maafin papa ya Zia, karena papa kemarin nggak nganterin kamu." Ucap Nando merasa bersalah.

"Eh papa nggak salah kok. Cuma Zia aja yang telat bangun hehe." Zia menyengir lebar. Memang, papa tersayangnya tidaklah bersalah. Itu semua terjadi karena keteledoran Zia sendiri yang begadang tak ingat waktu.

"Zia papa mau ngomong sama kamu sebentar lagi." Ujar Nando dengan nada yang serius sekarang.

"Ngomong aja sekarang pa." Zia berkata sebelum memasukkan sesendok nasi goreng dalam mulutnya. Ia sangat penasaran hal apa yang akan dikatakan papanya karena Nando begitu serius.

"Sarapan dulu sayang, nanti telat lagi loh." Ujar lembut Sekar yang diangguki Zia. Walau rasa penasarannya sudah di ujung tanduk, Zia harus menahannya sebentar lagi.

"Papa mau ngomong apa?" Tanya Zia lagi ketika Nando dan Zia sudah berada di dalam mobil, siap untuk berangkat ke tempat tujuan masing-masing.

"Zia, papa nggak pernah meminta satu hal apapun sama kamu kan?" Nando balik bertanya. Ia sudah menjalankan mobilnya menjauhi pekarangan rumah mereka.

"Bulan depan, kita pindah ke Makassar ya? Ada kendala di perusahaan papa di sana. Dan itu membutuhkan waktu yang lama untuk memperbaikinya." Ujar Nando to the point.

"Tapi pa, Zia nggak mau!" Sudah Nando duga, Zia pasti akan menolaknya.

"Zia udah nyaman tinggal di rumah kita. Lagian Zia bakal ujian akhir sekolah bentar lagi pa. Sahabat-sahabat Zia gimana? Sekolah Zia gimana?" Lintang gimana pa? Pastinya, kalimat terakhir itu hanya berani Zia katakan dalam hatinya.

"Sayang, dengerin papa. Papa bakalan lama di sana Zi. Pastilah mama mu akan ikut. Kami khawatir jika meninggalkan kamu sendirian di sini Zia. Papa mohon, ikutlah." Zia terdiam mendengar perkataan papanya. Zia berpikir ulang, selama ini papa dan mamanya tak pernah meminta satu pun dan tidak menuntut apapun pada Zia.

"Yaudah pa, Zia terserah mama papa aja." Ucap gadis itu pasrah.

***

Tiba di sekolah, Zia berjalan lesu tidak seperti biasanya. Perempuan itu bahkan mengabaikan Lintang yang tak sengaja berpapasan.

"Eh si Zia kenapa tuh? Tumben lesu begitu." Tanya Andra yang juga memperhatikan Zia.

Lintang mengedikkan bahu acuh. "Nggak cukup makan kali."

"Gila lo Lintang. Yakali orang sekaya Zia nggak cukup makan." Seru Gavin sambil menggeplak lengan Lintang.

Di kelas XII IPA 5, sahabat-sahabat Zia menatap perempuan itu dengan penuh tanda tanya. Biasanya, Zia akan datang dengan segala kehebohan yang ia perbuat. Tapi sekarang, tampang Zia sudah seperti orang yang patah semangat.

"Lo kenapa Zi?" Tanya Siska namun hanya keheningan dari Zia yang ia dapat.

"Zi, lo kenapa? Kalau ada masalah cerita sama kita. Kita sahabat lo." Sahut Dhea yang berada di samping Zia.

"Lintang lagi?" Kini Siska mulai menebak.

Zia menggeleng. "Bukan." Jawabnya dengan nada lemah.

"Terus apa Zi? Lo kayak nggak ada semangat hidup gitu deh." Tanya Siska lagi.

"Huaaaaa hiks hiks—" Tangisan Zia di dalam kelas itu pecah. Membuat sahabat-sahabat Zia terkejut dan teman sekelas mereka menatap bingung pada Zia.

"Eh Zia lo kenapa nangis?" Tanya Dhea panik.

"Hiks—kalau gua nggak ada, hiks kalian jangan lupain gua ya." Siska dan Dhea saling bertatapan bingung. Kenapa bocah itu malah ngelantur kemana-mana perkataannya? Pikir mereka bingung.

"Lo sakit keras Zi? Lo mau mati kah?" Tanya Siska.

Plak

"Sialan lo doian gua sakit keras? Bukanlah!" Sahut Zia kesal setelah memukul Siska dengan sedikit keras.

"Eh terus apa dong?" Tanya Dhea.

"Dahlah, kesel gua." Zia tak menjawab pertanyaan Dhea. Perempuan itu malah memilih keluar dari kelas. Entah mau kemana dia.

"Eh Zia MAU KEMANA LO?" Teriak Siska heboh dari dalam kelas.

"KANTIN MAU BELI MINUM GUA HAUS HABIS NANGIS." Teriak Zia dari luar kelas sambil menghapus sisa air mata di pipi putih mulusnya.

Betapa senangnya Zia ketika tiba di kantin. Di sana ada Lintang dan kedua sahabat baiknya sedang makan sebelum memasuki jam pelajaran pertama.

"Lintang." Panggil Zia dengan nada lembut tepat di samping Lintang.

"Eh Zia, suduk sini." Lintang menyuruh Zia duduk di sampingnya.

"Kita liat, kalian berdua udah akrab banget hm." Kata Gavin.

"Yalah, kan Zia calon pacar gua." Sahut Lintang santai. Zia yang mendengarnya jadi salting sendiri.

"Emang lo udah nerima gua Lintang?" Tanya Zia sedikit gugup.

"Ya, tunggu aja lo jadi pacar gua ya Zia." Ucap Lintang lembut sembari mengusap rambut Zia. Pipi Zia langsung merona dibuatnya.

"Ayolah Zia! Lemah banget jadi orang, digituin aja udah baper. Aduhh Ziaa lo nggak boleh baper ingat itu!" Batin Zia.

Zia tersenyum manis pada Lintang. "Gua harap lo tulus Lintang." Ujar Zia.

Lintang terpana melihat senyuman manis Zia. Setelah mendengar perkataan Zia, Lintang segera menarik tangannya dari kepala Zia dan berdehem sekali. Zia tersenyum miring tanpa disadari. Ia beranggapan Lintang terpana padanya hingga membuat cowok itu gugup.

"PJ PJ JANGAN LUPA!" Teriak Andra dan Gavin.

"Nanti nyusul, pas dia udah jadi pacar gua." Jawab Zia dan Lintang secara bersamaan. Kemudian keduanya saling menatap satu sama lain.

Love You Kang GhostingWhere stories live. Discover now