O9. CUTIES

208 24 6
                                    

Sejak kehadiran Yeri Sandyakala. Pagi hari di kediaman Hans tidak pernah lagi tenang seperti sebelumnya. Karena ada saja hal yang membuat suara kicauan burung kalah berisiknya dengan suara mulut manusia.

“Hans! Anjing kamu lepas!!!”

Yeri berteriak sekuat tenaga dari atas sofa. Matanya bergetar melihat anjing besar berkeliling santai di dalam rumah. “Hans tolongin!!! Saya takut!”

Ceklek!

Manusia yang ditunggu-tunggu akhirnya menunjukkan wujudnya. Dan langsung melangkah perlahan menghampiri anjing besar yang tengah bersantai di bawah meja makan. “Sian come here.” Hans menuntun anjingnya ke belakang rumah untuk diberi makan. Sekaligus diikat kembali.

Sebenarnya dia tidak pernah mengikat Sian. Namun karena keberadaan Yeri, dia terpaksa melakukan perbuatan tidak berperikeanjingan itu. Hans juga memiliki niat untuk menitipkan Sian pada Devin sementara waktu sampai Yeri keluar dari rumahnya.

Setelah selesai mengurus Sianjing. Hans menuju dapur. Hendak membuat makanan sederhana untuk sarapan. Sembari menunggu rotinya masak, dia sesekali melempar pandangan pada Yeri. Pemudi itu sudah kembali tenang dan malah sudah menonton kartun di televisi.

Manusia aneh.

Yeri adalah orang tidak bisa berbohong pada orang lain. Mungkin lebih tepatnya, tidak segan-segan melontarkan apa yang ada di pikirannya. Tapi wanita itu pandai menutupi segala hal. Terkadang, Hans mencoba menelisik. Berusaha menerobos masuk. Namun sayang, pertahan Yeri sangatlah sempurna sampai tidak ada celah yang terbuka.

Suara roti sedang terpanggang di atas wajan menyadarkan lamunan Hans. Membuat laki-laki itu bergerak cepat membalik roti ke sisi yang lain. Sedikit hangus. Tapi tidak apa. Yeri dan dirinya adalah manusia pemakan apapun yang tersedia.

Saat sudah selesai dipanggang. Hans mengoleskan selai kacang, dengan tambahan topping potongan-potongan pisang di atasnya. Lalu di bawa kepada Yeri dan memberikan salah satunya.

“pisang lagi? Kamu pikir saya monyet ya dikasih makan pisang terus?!” ujar Yeri. Mengajukan protes. Walaupun tetap dilahap juga akhirnya.

“astaga, Yer. Bersyukur aja. Udah numpang di rumah saya, banyak mau pula.”

Tak!

Yeri menaruh piring kosongnya dengan kasar. Beruntung tidak pecah. Napas pemudi itu lagi-lagi menggebu-gebu. Terlihat dari gerakan dadanya yang naik turun.

Dengan kepekaannya. Hans seger menghamburkan tawa renyah. Sambil mengucapkan kalimat penghiburan. “saya bercanda. Jangan marah, Yeri Sandyakala yang imut lucu kayak anak babi.”

“hah apa-apaan sih?!”

Sebuah ekspresi bingung tercetak di wajah Hans saat Yeri terkesan semakin marah, begitu dia sudah berusaha memperbaiki suasana hatinya. “kok marah? Anak babi kan emang lucu.”

Bibir Yeri mengatup, sekaligus terlipat. Tidak habis pikir dan berusaha keras agar tidak melontarkan kata-kata kasar. “perumpamaannya harus sama anak babi banget? Nggak ada hewan lain apa?!”

“nih, lihat aja.” Hans menunjukkan sebuah foto anak babi di ponselnya kepada Yeri. Dengan harapan kekesalan pemudi itu bisa mereda.

 Dengan harapan kekesalan pemudi itu bisa mereda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu.

Dua.

Tiga.

“ihhhh lucuuuu! Hans, ayo cari anak babi. Saya mau pelihara!”

“Yer? No more!

Ujar Hans. Menolak dengan tegas.

***

Di lain tempat. Seorang wanita tengah sibuk bergerak kesana kemari. Baru saja menaruh bayinya di atas kasur, lalu meninggalkannya sebentar ke dapur. Sang bayi sudah kembali merengek. Memaksakan dia untuk berlari terburu-terburu ke kamar dan menggendong buah hatinya.

“kamu kenapa sih, Nak?” Malya bergumam. Bertanya-tanya alasan sang anak terus saja menangis dan tidak bisa tidur lebih nyenyak dari biasanya.

Setelah kurang lebih 10 menit dia mengayunkan pelan tubuhnya. Bayinya kembali tertidur. Dia menaruh badan kecil nan ringan itu dengan sangat perlahan. Agar tidak menimbulkan banyak getaran dan membuat tidur lelap manusia kecil itu terganggu.

Malya pun berjalan keluar kamar. Meninggalkan sang buah hati dalam tidur nyenyaknya. Dia memandangi layar ponselnya cukup lama. Lebih jelasnya, menatap nomor telepon yang terakhir dia hubungi kurang lebih empat tahun lalu.

Dengan penuh keraguan dicampur keinginan. Ibu jari Malya akhirnya menekan nomor itu dan langsung tersambung ke sebuah panggilan telepon.

“halo?”

Suara yang sangat dirindukan rungunya itu menyapa dengan lembut. Suara yang dulu selalu dia dengar setiap hari. Kini terdengar sangat asing.

“Hans. Ini aku.”

“iya tahu.”

Malya membulatkan sedikit kedua bola matanya. “kok?” gumamnya, kebingungan. “kamu masih nyimpen nomor aku?”

“nggak, cuma masih inget nomor kamu aja.”

Malya mengulas senyum lebar. Rasa bahagianya tidak terdefinisikan, mengetahui raja di hatinya masih tidak sepenuhnya melupakan dia. “oh iya, gimana kabar kamu? Kelihatannya baik-baik aja ya kemarin?”

“iya, Puji Tuhan baik.”

Entah  sudah yang ke berapa kali. Malya selalu lupa kalau dirinya dan Hans berbeda. Berbeda keyakinan. Di saat laki-laki itu mengucapkan Puji Tuhan, sedangkan Malya bilang. “Alhamdulillah deh kalo baik.”

“ada apa, Mal? Saya agak sibuk nih.”

“oh kalo gitu nggak perlu basa-basi lagi. Aku mau bilang, aku kangen. Kangen aja buat tahu kabar kamu. Kangen membagi cerita dan denger kamu ngomong. Kangen denger kamu ketawa. Kangen dengerin lagu bareng.”

Ujaran Malya terhenti. Dia mengambil napas banyak-banyak terlebih dahulu sebelum melanjutkan kata-katanya lagi yang sebenarnya terlalu menyesakkan untuk diutarakan. “aku kangen semuanya. Kira-kira masih bisa diulang lagi nggak ya? Atau cukup jadi kenangan aja?”

“.......”

Di saat tengah menunggu jawaban dari Hans. Sang buah hati terdengar menangis lagi. Malya segera berlari kecil menuju kamar dengan ponsel yang masih ada dalam genggaman. Fokusnya terpecah. Antara si anak sekaligus laki-laki yang ada di seberang telepon.

“ya ampun, panas banget badan kamu, Nak.” monolog Malya saat menyentuh dahi, juga seluruh bagian tubuh kecil itu yang ternyata bersuhu panas. Entah sejak kapan.

“kenapa, Mal? Ada apa?”

Suara dari ponselnya terdengar penuh cemas, nadanya juga agak meninggi. “Rasya, anak aku badannya panas. Pantes aja dari tadi rewel dan tidur cuma sebentar-sebentar.”

“Malya, shareloc sekarang. Kamu siap-siap, kita ke rumah sakit.”

“Hans...”

;; kaitorainerrr ;;

***

Thank you for reading <3

Have a nice friyayyy!!!

Love in Bipolar ( ✔ )  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang