Ada-ada saja.
Ulah semesta,
dengan manusianya.Sering merengek sakit,
karena begitu banyak luka.Tapi kerap kali juga,
suka mencari gara-gara.Siapa lagi?
Kalau bukan Hans, orangnya.Kini pria itu sedang duduk tenang di sebelah Yeri. Memainkan rambut panjang yang menjuntai, dianyam, dikepang sedemikian rupa tapi selalu gagal berantakan di tengah jalan.
"kamu mau ke Psikiater? Saya udah nggak bisa nanganin kamu lagi. Untuk pengidap bipolar juga harus terapi obat, pake dokter. Nggak cukup cuma terapi bicara sama Psikolog." ujar Hans. Masih terus memainkan rambut Yeri.
"nggak perlu." balas wanita itu.
"kenapa?"
Yeri membalikkan badannya, hingga membuat anyaman di rambutnya terlepas dari genggaman si pengrajin. Dan tanpa rasa bersalah, berkata. "nggak perlu. Kan kamu obatnya."
"huekkk!"
Dua orang yang duduk di kursi depan berlagak bergidik ngeri. Merasa seperti manusia paling waras, yang tidak pernah dimabuk cinta. Padahal Raycandra dan Devin juga begitu, sewaktu remaja.
Setidaknya biarkan keduanya terlena, barang sebentar saja. Menyicip manisnya cinta manusia yang fana. Merasakan bahagia yang sifatnya sementara.
Tertawa lepas, bukan tertawa miris, sebelum dihajar lagi oleh dunia.
Amnesia anterograde.
Belum juga ada satu menit, setelah berhamburnya tawa. Hati Yeri rasanya kembali berkabung, mengingat pernyataan Dokter saat menjelaskan kondisi Hans. Walaupun hanya berlangsung sementara, katanya.
Semoga saja, iya.
Dia takut,
sangat takut malah.Kalau pria itu melupakannya,
semua memori tentangnya mati,
terkubur, hingga lenyap tertelan masa.“Oh iya, Ray. Gimana grand opening kafe lo? Lancar?”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tujuh detik.
Orang yang diberi pertanyaan masih saja bungkam. Lidahnya terasa kelu, mulutnya juga terasa gagu. Raycandra menolak untuk bisa berkata-kata. Tapi manusia di sampingnya terus mengusik. Membuat hatinya tergerak juga akhirnya, dan dengan suara yang sedikit bergetar, dia berujar. “Puji Tuhan, lancar.”
“tapi itu kan udah dua tahun lalu, kenapa lo baru nanyain sekarang?”
Kalimat tanya berisi fakta itu kembali dia telan bulat-bulat, bersama salivanya. Tidak jadi dilontarkan, dengan harapan bisa membuat Hans tersadar.
Tapi, dia hanya manusia. Makhluk yang katanya paling mulia, nyatanya makhluk yang paling hina. Tidak punya kuasa, tidak bisa berbuat apa-apa.
Selain memohon kepada dunia, bahkan semesta. Untuk tidak terlalu dingin. Untuk tidak terlalu keras. Untuk tidak terlalu kasar cara bermainnya.
Notes :
Amnesia anterograde adalah amnesia yang membuat seseorang menjadi sulit menyimpan ingatan baru pasca mengalami peristiwa pemicu tertentu. Amnesia ini bisa bersifat sementara maupun permanen.
***
Untuk kamu,
yang selalu mampu tersenyum, dan menyembunyikan air mata. Saya tahu, betapa inginnya kamu berlari dan berteriak sekencang-kencangnya. Betapa inginnya kamu bernapas lega, bebas, tanpa beban di kepala.Karena ini tentang kerasnya dunia, yang selalu menghantam tubuh, juga pikiran. Namun kamu menyembunyikan semua, seakan tidak terjadi apa-apa.
Senyum kamu begitu teduh dan menawan, sayang sekali jika digunakan untuk kepalsuan dan kepura-puraan. Terima kasih ya orang hebat. Iya, kamu hebat. Siapa lagi memang?
Untuk malam ini, tidur yang cukup. Biarkan tubuh kamu beristirahat dengan nyenyak, ya? Untung-untung bisa bermimpi indah, sebagai pengganti hal kurang mengenakkan yang terjadi di realita.
with love, y
Sebuah ukiran senyum tercetak dengan sendirinya. Begitu Hans membaca satu persatu rangkaian kalimat yang tertulis rapih di secarik kertas di bawah pintu kamarnya.Sayang sekali, dia terlanjur masuk ke alam mimpi, dan baru bisa membaca surat manis itu di pagi hari. Tapi tidak apa. Sebuah surat? Hm, pembukaan yang cukup baik, untuk memulai hari.
Dia menyimpan secarik kertasnya, dan keluar kamar dengan semangatnya. Tapi kakinya langsung keram. Begitu melihat wanita berhijab tengah duduk di ruang tamu.
“Malya? Ada apa ke sini?”
Wanita yang diserukan namanya mengulas senyum. Melihat manusia yang sedari tadi dinanti-nanti terbangun dari alam mimpi. “hai Hans! Aku cuma mau jenguk aja, nggak boleh ya?”
Sang empunya rumah mengabaikan ujaran si tamu, dan beralih pada pertanyaan lain. “siapa yang bukain kamu pintu?” tanya Hans.
“pintunya nggak dikunci, ya aku asal masuk aja. Aku ketok pintu kamar kamu, nggak ada sahutan, jadi aku pikir kamu masih tidur.”
Hans merasa heran. Sungguh. “Malya, what's wrong with you? Kamu nggak bisa masuk rumah saya sembarangan kayak begitu. Nggak sopan.”
“Emangnya kenapa? Dulu—”
“Berhenti bahas yang dulu-dulu. Sekarang keadaannya udah beda, Malya!” Hans memotong ujaran wanita di depannya, dan disuguhi dengan sebuah fakta untuk mengingatkannya, barangkali lupa.
“Saya dan kamu nggak sedekat itu lagi. Kamu lupa? Kamu udah milik orang lain...” ujarnya, sedikit lebih tenang.
Entah kenapa, ada rasa sedikit tidak rela dengan kenyataan kalau Malya memang bukan lagi kekasihnya. Tapi, apa boleh buat? Memang seperti itu kebenarannya.
“Tapi suamiku udah meninggal, aku bukan milik siapa-siapa lagi!”
“Terus? Kalo suami kamu meninggal, kamu mau balik ke Hans, gitu?!”
Kata-kata tajam itu tiba-tiba saja menyerang dan menghujam.
Tidak perlu ditanyakan, sudah pasti Yeri pelakunya.
Wanita itu dengan santainya duduk tepat di sebelah Hans. Melempar senyum, lalu kembali melunturkannya begitu melihat Malya.
“Ngapain kamu? Ganggu aja.”
Yeri membulatkan sedikit kedua matanya. Terheran-heran, sekaligus ingin tertawa melihat lakon manusia tidak tahu diri di depannya. “hah? Nggak salah? Yang mengganggu siapa, yang tergganggu siapa.” ujarnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tidak terima. Malya pun ingin membalas. “kamu selalu ganggu waktu saya sama Hans. Nggak bisa ya kasih kita ruang berdua? Lagian kamu harus tahu batasan, kamu cuma kliennya.”
“Siapa bilang? Saya ini calon masa depannya Hans tahu! Kamu juga bukan siapa-siapanya, cuma masa lalu yang sia-sia. Iya, kan?”
Perihal bersilat lidah,
Yeri memang jagonya.“Calon masa depan? Emangnya Hans mau sama pengidap bipolar kayak kamu? Seandainya iya pun, kamu nggak pantes untuk dia. Ibaratnya Hans itu sempurna, sedangkan kamu itu yang terburuk.” ujar Malya.
Kamu nggak pantes untuk dia.
Ah, hampir saja pertahanan Yeri goyah, hanya dengan serangan satu fakta. Dia menelan salivanya, sebelum kembali berkata. “emangnya kamu merasa pantes?”
“Jelas, iya. Seenggaknya orang waras lebih baik dari orang gila, kan?”
;; kaitorainerrr ;;
***
Thankew for reading <3
And see youuu ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Bipolar ( ✔ )
FanfictionIni hanya kisah antara psikolog muda dengan pasien pengidap bipolar yang entah bagaimana semesta membuat keduanya tinggal bersama. Hans selalu dibuat pusing dan terheran-heran dengan kelakuan Yeri yang tidak terduga. Sedangkan si pasien merasa baik...