13. BEFORE I DIE

179 28 6
                                    

Pagi-pagi sekali. Hans membangunkan Yeri. Menyuruhnya segera bersiap-siap, untuk dibawa berkeliling melihat dunia luar. Dunia yang selalu memberi kesan menyeramkan, namun juga memiliki keindahan yang bisa memanjakan mata.

Keduanya pun masuk ke dalam mobil. Lalu memulai perjalanan panjang, dari dikeliling oleh gedung-gedung tinggi, sampai kian berubah menjadi pepohonan hijau.

Yeri memandang ke luar jendela. Menilik satu per satu karya indah tangan Tuhan yang diberikan pada dunia dengan cuma-cuma. Dia tersenyum tipis, tapi didetik berikutnya hidungnya memerah. Merasa sedih tiba-tiba, berandai-andai sang ayah masih berada di sisi, dan menikmati keindahan alam bersamanya. Walaupun dirinya tetap bersyukur, masih bisa melihat bersama dengan Hans.

“papa nggak selingkuh, tapi mama salah paham, dan tega membunuh suaminya sendiri.” ujar Yeri, mendadak bercerita tentang tragedi yang menjadi sebuah awal dari rasa takutnya akan masakan sang ibu. “papa kesakitan cukup lama, sambil berusaha bilang maaf. Memohon ampun atas kesalahan yang nggak pernah dia buat sama sekali.”

Melihat Yeri menangis, menahan sesak. Hans menggenggam tangan wanita itu, dan mengusap punggung tangannya. Tidak lupa, mengulas senyum yang kiranya bisa memberi ketenangan, juga kehangatan.

Keduanya tetap pada posisi yang sama, tangan saling bertaut. Sampai akhirnya Hans memberhentikan mobil di tujuan pertama. Sebuah tebing bebatuan, di bawahnya terdapat sungai berwarna hijau kebiruan.

“kamu tahu? Katanya ada tiga remaja yang mencoba berenang di sini, tapi berakhir menghilang. Entah nggak ditemukan, atau jasadnya ditemukan di sisi dunia lain.” Hans bercerita, sambil menapaki satu per satu gundukan batu besar yang kokoh. Sementara Yeri, hanya fokus mendengarkan, tanpa tahu harus memberi respon apa.

“mau coba berenang?” tanya Hans, sembari mulai melepaskan lapisan pakaian, bertelanjang dada dan hanya menyisakan celana pendek.

Yeri mengernyit dalam. Lalu menggeleng. “hah? Nggak deh, pasti dingin banget.”

“ayolah, masa udah dateng jauh-jauh nggak melakukan apa-apa? C'mon, siapa tahu kita bener-bener bisa nemuin dunia baru di bawah sana.” ujar Hans, menaruh ekspetasi tinggi pada sungai tenang yang membentang luas di hadapan.

Helaan napas kasar keluar dari pada Yeri. Merasa sedikit kesal, karena dirinya tidak punya pertahanan yang kuat untuk menolak dan tidak luluh pada kata-kata Hans yang terlalu lembut, hingga menyentuh hati. Dia pun ikut melucuti seluruh pakaiannya, dan menyisakan kaos tipis, juga celana pendek.

Satu.

Dua.

Tiga.

Tanpa ragu, Yeri melompat lebih dulu, disusul oleh Hans. Tidak lama, suara riuh tawa pun terdengar. Menggema, saling memantul dari tebing satu ke tebing yang lain. Sebagai tanda kebahagiaan dua manusia, sekaligus memberitahukan pada dunia kalau luka dan rasa sakit yang ditorehkan tidak bisa menahan mulut mereka untuk tidak menghamburkan tawa.

Baik Yeri, baik Hans. Keduanya saling timbul tenggelam. Saling mengejar di dalam air, atau saling mencipratkan air di permukaan. Setelah merasa puas, mereka kembali ke tepian. Duduk beralaskan batu yang keras, namun aman untuk dijadikan tempat berpijak.

“ini kenapa?” tanya Yeri, saat melihat bekas luka cukup panjang membentang di sekitar perut Hans.

“oh ini...” Hans menutupi guratan luka itu, sembari berusaha mengulur waktu. Sebelum akhirnya menjawab. “saya nggak terlalu inget.”

“ah yang bener? Kata orang biasanya kenangan buruk malah susah dilupakan loh. Kamu beneran nggak inget ini kenapa?”

Hans tetap memberikan jawaban yang sama. Tidak ingat. Tidak tahu. Atau mungkin, tidak mau untuk mengingat, tidak mau untuk memberi tahu. Luka yang ada ditubuhnya sudah tertutup, sudah mengering, hanya saja membekas. Tapi luka di hatinya, luka di batinnya masih menganga, masih basah, yang jika disentuh sedikit saja bisa membuat nyeri.

***

Setelah selesai mengukir cerita di river of happiness. Begitulah mereka menyebutnya. Hans kembali melajukan mobilnya. Kembali memperlihatkan bentang alam yang begitu anggun, ada yang berdiri kokoh, ada juga yang melambai-lambai.

Kurang lebih 15 menit. Hans memberhentikan mobilnya, tanda kalau sudah sampai di tujuan. Kali ini bukan sebuah pemandangan alam, melainkan tembok bertuliskan 'Before I die' yang penuh coretan mimpi-mimpi milik manusia lain.

Hans memimpin langkah, lalu mengambil sebuah kapur yang memang sudah tersedia. Tangan kekarnya pun mulai bergerak, menuliskan keinginannya. Before I die I want to be the love.

Kemudian Hans memberikan kapurnya pada Yeri, menyuruhnya untuk juga menuliskan keinginannya. Yeri menerima kapur itu, dan berjalan mendekat ke sisi tembok yang lain. Before I die I want to be loved. Tulisnya.

Keduanya pun saling menghambur tawa. Bukan tertawa miris, tapi tertawa karena rasa bahagia terlalu membuncah.

Yer, it's okay, I'll make an engagement with you.” Hans menangkup wajah tirus Yeri, dan mendekatkan wajahnya sampai bibirnya dapat menggapai bibir wanita di hadapan.

Hans, i love you?” ujar Yeri, begitu Hans melepaskan tautan bibirnya.

love you too.”

Hans mendekap tubuh Yeri. Memeluknya erat, sembari mengusap pelan rambut panjang yang tergerai itu. Kalau ditanya sejak kapan, Hans juga tidak tahu. Semua terjadi begitu saja, tanpa bisa dia hindari. Tanpa bisa berbohong, kalau Yeri bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.

She is home.

Keduanya tetap pada posisi yang sama. Saling mengeratkan pelukan, selagi semakin tenggelam pada pusaran cinta. Tidak menaruh peduli dengan sekeliling, sembari merasa mereka manusia terakhir yang tersisa di dunia.

***

Notes :

Sorry kalau kurang bagus, aku nggak terlalu bisa membuat romantic scene karena aku juga masih underage.

Mohon pengertiannya ya >.<

Thankew for reading <3

And have a good day all~

And have a good day all~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Love in Bipolar ( ✔ )  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang