I'll leave a light on for you
In the darkest of the nights
When your pulse is racing
And the world won't make you runNow it's been forever
I don't wanna wait too long
Now that we're together
I will never do you wrongJust lay it all on me
Just lay it all on me
Just lay it all on me
Just lay it all on meLay it all on me - Carole & Tuesday
***
Sebuah mobil melaju dengan cepatnya menembus keramaian jalan raya. Hans. Menancapkan pedal gasnya dengan kecepatan penuh agar segera sampai di lokasi di mana Malya berada. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang. Dia mulai menepikan mobil di depan sebuah apartemen. Yang sepertinya merupakan tempat hunian ibu muda itu.
Klek!
Malya membuka pintu depan. Hendak duduk di kursi samping kemudi, tapi sudah terisi lebih dulu oleh Yeri. "ngapain? Duduk di belakang sana. Emangnya mau saya pangku?" ujar Yeri. Bagai hujan es berujung runcing, menusuk ulu hati.
Tidak ingin membuang waktu. Malya pun mengalah tanpa keberatan. Dia mengambil posisi di kursi tengah. Dan memandangi kursi depan samping pengemudi tempatnya dulu. Sayang sekali, tempat itu sudah terisi oleh orang lain.
Saat sampai di rumah sakit. Hans memimpin langkah, menuju lantai tiga. Bagian dokter anak. Tanpa melakukan pendaftaran atau menunggu antrian. Laki-laki itu langsung mengetuk salah satu pintu ruangan. "Dayu, ini Hans!"
Sebelum berangkat. Dia sudah menghubungi temannya yang seorang dokter anak dan kebetulan sedang praktik hari ini. Orang-orang sekitar memandangi Hans dengan tatapan penuh heran.
Bagaimana tidak? Di saat yang lain sudah datang dari dini hari hanya untuk mengambil nomor pendaftaran dan menunggu lama hanya untuk berkonsultasi dengan dokter yang tidak seberapa lama. Sedangkan dia bisa dengan mudahnya menyelak begitu saja. Dan alasan dia melakukan hal tidak sopan itu hanya satu; Malya.
Akhirnya Rasya diperiksa dan mendapatkan resep obat. Manusia kecil itu juga tertidur nyenyak di dekapan Hans saat Malya sibuk mengurus administrasi dan pengambilan obat.
"kalo dilihat-lihat muka anak bayinya mirip kamu, jangan-jangan ini anak kamu, ya?" celetuk Yeri. Menebak dengan asal tanpa bukti yang konkret.
Hans hampir saja terkena serangan panik mendengar ujaran Yeri. Rasanya ingin membekap mulut gadia itu, tapi kedua tangannya sibuk menopang tubuh mungil Rasya. "Yer, tolong lah. Saya ini laki baik-baik. Pacar aja nggak ada, anak apalagi."
"wah ya udah kalo gitu. Ayo mau bikin anak sama saya? Dari pada nimang anak orang mulu?"
"Yeri???"
***
"terima kasih banyak, Hans."
Malya melepaskan sabuk pengamannya. Melempar senyum pada Hans yang berada tepat di sampingnya. Sebelum turun dari mobil.
"sama-sama. Semoga Rasya cepet sembuh. Kamu juga, jaga kesehatan."
Setelah mendapat anggukan dari Malya. Baru Hans melajukan mobilnya lagi. Dia memperhatikan Yeri yang berada di kursi belakang melalui kaca spion. Gadis itu tampak tenang, atau lebih tepatnya seperti kehabisan energi. Karena tadi sempat marah-marah memperebutkan kursi depan samping pengemudi dengan Malya.
"Yeri." panggil Hans.
Bukannya menyahut. Yeri malah menghantamkan kepalanya sendiri pada bidang kaca mobil berkali-kali. Meluapkan rasa kesal karena harus kalah dalam memperebutkan posisi di samping Hans.
Hans yang melihat itu segera menepikan mobilnya. Lalu, beranjak keluar dan membuka pintu yang terhubung ke kursi belakang. Dia langsung menarik tubuh Yeri, memaksa gadis itu menghentikan kegiatan menyakiti diri sendirinya.
"Yeri. Stop it, please."
"apa sih, udah kamu nggak usah peduliin saya. Urusin aja tuh wanita itu!" ujar Yeri. Berusaha memberontak, namun tidak cukup kuat untuk melawan tenaga Hans.
"mana mungkin saya acuh kalo melihat kamu kayak gini? Sekarang kamu pindah ke depan ya?"
Hans membujuk Yeri. Setenang mungkin. Dia merangkul tubuh ringkih gadis itu pelan. Beruntungnya, Yeri tidak memberikan tindakan menolak. Yang memberikan sedikit kemudahan untuk Hans.
Namun, lagi-lagi. Yeri sengaja menghantamkan kepalanya pada dasbor mobil. Hans pun mengulurkan tangannya. Menghalangi jidat Yeri untuk bertubrukan dengan bidang keras itu, melainkan mendarat aman di telapak tangannya.
"Yeri. Tolong berhenti. Hati saya sakit melihatnya. Can you?" "kamu juga udah janji untuk nggak nyakitin diri sendiri lagi kalo masih mau tinggal di rumah saya."
Pada akhirnya Yeri menyerah. Menghentikan tingkah laku konyolnya. Lalu mengulas senyum miris. "kamu capek ya sama saya? Jangankan kamu, orang-orang di sekitar saya juga begitu kok." ujar Yeri. Mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "jangankan mereka. Saya juga capek sama diri saya sendiri."
"nggak. Saya nggak capek sama kamu. Mungkin orang-orang di sekitar kamu bisa capek, tapi saya kan berbeda dari mereka.
Dan yang harus kamu tahu. Di saat orang lain mulai ninggalin kamu dan melepaskan tautan tangan mereka. Masih ada saya, yang tetap tinggal di samping kamu."
Senyum miris Yeri, kian berubah menjadi senyum yang sedikit lebih tulus setelah mendengar kalimat hiburan dari Hans. "hahaha saya masih nggak percaya, orang yang di depan saya sekarang adalah laki-laki yang saya gagalkan rencana bunuh dirinya 4 tahun lalu.”
***
Notes :
Btw banyak banget hutang scene yang belum terbayar. Nanti ya akan daku lunaskan dan jelaskan, biar gak banyak plot hole. Maklum masih amatir y g? Awkawkawkawk. Alasan.
Thankew for reading <3
Have a blessed day ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Bipolar ( ✔ )
FanfictionIni hanya kisah antara psikolog muda dengan pasien pengidap bipolar yang entah bagaimana semesta membuat keduanya tinggal bersama. Hans selalu dibuat pusing dan terheran-heran dengan kelakuan Yeri yang tidak terduga. Sedangkan si pasien merasa baik...