Setelah seminggu lebih, aku mulai merasa nyaman berada di kelas ini. Bahkan aku sudah tidak gugup jika diajak bicara Anraf tiba-tiba.
Setelah merasa nyaman, aku mulai mencoba menulis apapun di buku catatan. Bisa puisi, cerita pendek, atau hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran. Sekarang pun aku sedang menulisnya karena hari ini aku datang terlalu awal sehingga tidak tahu harus melakukan selain menulis.
"Na, lu nulis apaan sih dari kemaren? Puisi buat Anraf?" Rafa, duduk di kursi Anraf menghadapku. Tiba-tiba perasaanku memburuk.
"Ngapain ngurusin sih? Pergi sana, kamu ganggu." Ujarku tanpa menatapnya dan masih menulis.
"Gua mau baca dong."
Aku terkejut mendengarnya, tapi aku tetap tidak menatapnya. Sejak kapan dia mau membaca? Orang yang lebih suka bermain bola ini ingin membaca tulisanku yang belum tentu dia tertarik untuk membaca? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Semenit kemudian, dia langsung menarik buku catatanku dan langsung membacanya. Dia benar-benar sudah gila. Dia harus dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa.
"Raf, balikin!" Pintaku padanya.
Ini sungguh memalukan. Aku baru saja mulai menulis kemarin dan belum ada yang membaca tulisanku sebelumnya. Orang yang jadi pembaca pertamanya malah seorang laki-laki dan orang itu adalah Rafa. Benar-benar memalukan.
Dia tidak mendengarku dan terus membaca. Aku melihat Fatih dari kursinya mulai mendekat mungkin penasaran dengan hal yang dibaca Rafa. Aku berharap sekali dugaanku salah dan dia hanya ingin keluar kelas. Jika dia juga ikut membacanya, akan semakin memalukan.
"Baca apa lu, Raf?" Ternyata harapanku tidak terkabul.
Rafa tidak menjawab yang alhasil membuat Fatih juga ikut membacanya. Aku membenturkan kepalaku ke meja. Aku terus menatap lantai saking tidak beraninya melihat ekspresi mereka berdua setelah membacanya.
"Buat Anraf, Na? Kasih aja sono. Mumpung dia duduk di depan lu." Fatih tiba-tiba bersuara.
Aku langsung mengangkat kepalaku dan berseru, "APAAN SIH! GAK MUNGKIN, LAH!" Tiba-tiba saja aku melihat Anraf di pintu dan khawatir dia mendengar apa yang dikatakan Fatih.
Fatih mengikuti mataku dan melihat Anraf juga. "Eh, orangnya dateng. Raf, kasih gih." Dia menyenggol bahu Rafa.
"Apa yang gak mungkin, Na? Pagi-pagi kamu udah ngobrol sama Fatih, ada apa nih?" Dia mendekati kami.
Rafa berdiri dari tempatnya dan menghadap Anraf yang berdiri di sampingnya. Dia menyodorkan bukuku pada Anraf dan berkata, "Anraf, baca dah. Seru tau."
Anraf menerimanya dengan raut wajah sedikit kebingungan. Rafa menyingkir dari kursi Anraf sehingga Anraf bisa meletakkan tasnya dan duduk di sana.
"Na, mau baca duluan? Kamu suka baca, kan." Dia meletakkan buku itu di mejaku.
Aku langsung mengambilnya dan memasukkannya ke laci mejaku. Aku tanpa sengaja tersenyum bahagia karena dia tidak membacanya dan bukuku kembali padaku.
"Gak langsung dibaca?" Anraf tiba-tiba bertanya.
"Elah, Raf. Harusnya lu langsung baca. Ngapain dikasih lagi ke orangnya." Ujar Fatih.
"Eh, itu punya, Na? Kirain punya Rafa." Anraf pun terkejut. Wajah terkejutnya itu tidak terlalu menarik untukku. Mungkin hanya Ihsan yang bisa menunjukkan wajah terkejut yang lucu untukku.
Rafa tiba-tiba mendekatiku dan berdiri di sebelah kiri. Dia berjongkok dan melihat laci mejaku. Aku yang sadar dia ingin berbuat apa langsung memasukkan kedua tangan, meraih buku catatanku dan memegangnya erat sambil menjauhkannya dari tangan Rafa yang sudah masuk ke laci mejaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Short StoryMengisahkan, seorang anak SD yang menjalani keseharian di tahun terakhirnya. Hal yang lebih menantang dari tahun-tahun sebelumnya menanti di depan matanya. Mampukah dia melewatinya? Note : Terinspirasi dari pengalaman pribadi (Tidak 100% sama persis...