Tugas

4 1 0
                                    

"Ih! Sakit tau!" Anak itu berusaha melepaskan tanganku yang masih mencubitnya.

"Wah, marahnya juga sama kayak Ihsan." Aku pun melepas cubitanku dan memandangi anak itu sambil berjongkok. "Siapa namamu?" Tanyaku dengan selembut mungkin karena kesan pertamaku di matanya pasti sudah buruk karena aku mencubitnya tiba-tiba. Aku tidak ingin memperburuknya sekarang.

"Sandi." Balasnya sambil mengusap-usap pipinya yang 'sedikit' merah. Dia benar-benar terlihat menggemaskan ketika mengusap pipinya.

"Oh~ Assalamualaikum, Sandi. Aku Ihna. Salam kenal, ya. Maaf aku tadi tiba-tiba langsung nyubit kamu. Habis, kamu gemes banget." Ujarku masih berjongkok di depan Sandi.

"Waalaikumsalam. Iya, gak papa." Dia sudah berhenti mengusap pipinya. Tapi, pipinya masih memerah seperti tomat. Ingin sekali aku menggigitnya-- walaupun sebenarnya aku tidak suka tomat.

"Oke, ayo kita pulang sekarang. Capek kan ya di sekolah terus." Aku akhirnya berdiri kemudian memegang tangan kanan Sandi dengan tangan kiriku. Setelah itu, aku menariknya keluar kelas dengan gembira.

"Na! Kok gua ditinggal!" Ihsan tiba-tiba berseru di depan kelasku saat aku dan Sandi sudah berada di dekat tangga. Aku memutar tubuhku sedikit untuk melihat ekspresi Ihsan. Dia marah sambil menutup pintu kelasku. Aku hanya tersenyum lebar melihatnya dan mengayunkan sedikit tangan kananku yang bebas, memintanya untuk datang ke arahku. Dia pun menurutinya kemudian mendekat dengan wajah masih marah.

Saat tahu dia mulai mendekat, aku kembali berjalan sambil menarik Sandi di sampingku. Kami menuruni tangga perlahan karena aku khawatir dia terjatuh jika aku terlalu terburu-buru ketika menuruni tangga. Sangat lucu melihatnya menuruni tangga satu persatu. Ihsan kini juga ikut mengimbangi kami yang menuruni tangga perlahan.

Setibanya di bawah, aku melepaskan genggamanku dari Sandi untuk mengambil sepatuku, satu-satunya yang tersisa di rak sepatu. Aku meletakkannya di lantai aspal kemudian memakainya sambil berdiri, sudah menjadi kebiasaanku walaupun aku selalu diberitahu bahwa tidak bagus memakai sepatu sambil berdiri.

Sandi sudah memakai sepatunya sejak aku mengambil sepatuku. Dia berdiri di lapangan aspal sambil memegang kedua tali ranselnya, menunggu kakaknya memakai sepatu. Aku sudah selesai memakai sepatu beberapa saat lalu, tetapi Ihsan masih belum selesai karena dia harus mengikat tali sepatunya. Merepotkan diri saja.

Akhirnya Ihsan selesai memakai sepatu, dia kemudian berdiri dan menggenggam tangan kiri Sandi dengan tangan kanannya kemudian menariknya menuju gerbang sekolah. Sandi terlihat lebih nyaman berpegangan tangan dengan Ihsan daripada denganku tadi. Aku mengikuti mereka dari belakang. Melihat kedua saudara ini dari belakang saja sudah menjadi kebahagiaanku.

"Sandi kelas berapa?" Tanyaku lagi ketika kami sedang menungggu angkot. Sandi berdiri di sebelah kananku, di antara aku dan Ihsan.

"Kelas 1." Balas Sandi dengan suara sedikit tidak jelas.

Di sekolah ini, kelas 1 hingga kelas 3 setiap harinya pulang setelah Dzuhur. Sedangkan kelas 4 hingga kelas 6 pulang setelah ashar kecuali hari Jumat, pulang setelah Jumatan. Jadi, aku hanya bisa pulang bersama Sandi setiap hari Jumat.

"Minggu lalu kok aku gak ketemu dia, Ihsan?" Tanyaku pada Kakaknya kali ini.

"Dia sakit. Gak masuk jadinya." Balas Kakaknya itu.

"Oalah. Pantesan." Aku kembali berjongkok menghadap Sandi yang kini hanya memerhatikan jalan. "Mulai hari ini, kita bakal bareng pulangnya setiap hari Jumat. Jangan bosen, ya." Aku menepuk pelan bahu kirinya karena tidak berani memegang tangannya, khawatir dia merasa tidak nyaman lagi.

"Na, lu bisa gak sih liat situasi dulu. Dia gak nyaman ama lu, tau." Ujar Ihsan seketika setelah aku menepuk pundak Sandi.

"Tau kok. Makanya cuman kutepuk. Jangan bilang kamu cemburu karena sekarang aku gangguin adekmu bukan kamu." Aku pun berdiri sambil memperhatikan ekspresi Ihsan. Meskipun kini ada adiknya, aku tidak mungkin melepaskan kesempatan untuk melihat ekspresi lucu Ihsan.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang