"Lu gak papa, Na?" Tanya Ihsan sambil mendekat ke tempat kami.
"Gak papa kok. Maaf, kamu nunggu lama, ya?" Aku menatap Ihsan sambil tersenyum agar dia tidak tahu aku baru saja menangis.
"Udah, pulang yuk." Syahran berdiri dari tempatnya dan langsung menyandang tasnya.
Aku ikut berdiri dan dia mengembalikan kursi yang kududuki tadi ke tempatnya semula. Dia berjalan lebih dulu menuju pintu kelas. Aku mengikutinya dan Ihsan juga ikut beranjak dari tempat tadi.
Syahran bersandar di pintu hingga kami berdua keluar dan dia menutup pintu kelasnya. "Silahkan pulang duluan, wahai sepasang teman pulang." Syahran tiba-tiba bersuara.
"Ah, kau pulang bagaimana?" Aku tiba-tiba bertanya karena tidak biasanya Syahran tidak pulang tepat waktu.
"Bagaimana, ya? Apa aku harus menginap di rumahmu?" Dia mendekatkan wajahnya padaku yang berdiri di dekatnya. Mendengar balasannya itu seketika aku merasa wajahku memanas. "Bercanda. Tentu saja pejemputku sedang menunggu. Tidak seperti pejemputmu yang tidak sabar menunggu." Dia sudah menjauhkan wajahnya dariku.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk meredakan panas di wajahku. Setelah beberapa kali, akhirnya panas tersebut hilang.
"Oke, sampai jumpa lain waktu." Syahran hendak pergi meninggalkanku dan Ihsan. Tanpa sadar aku menarik bajunya, berharap dia tidak pergi. "Kenapa? Mau ikut?" Aku tidak tahu kenapa aku mengangguk. "Boleh aja. Aku mau ke ruang guru dulu, ngasih ini." Dia menunjukkan kertas yang tadi ada di atas mejanya.
Akhirnya, aku mengikuti Syahran ke ruang guru. Aku hanya menunggunya di lorong karena hanya dia yang punya urusan di dalam sana. Ihsan juga bersamaku di lorong. Dia diam sejenak kemudian beberapa saat kemudian, dia bersuara. "Lu kenapa ama dia berduaan di kelas tadi?"
"Oh, itu cuman gara-gara dia ngambil tasku. Gak kenapa-napa kok. Emangnya kamu ngira ada apa?" Aku balik bertanya.
"Gak ada. Aneh aja lu bareng cowok dari kelas gua." Balasnya sedikit ragu-ragu.
"Kan kamu tahu kalau aku an--" "Oke, udah selesai. Pulang yuk!" Syahran tiba-tiba saja keluar dari ruang guru, memotong perkataanku.
Jangan ngomong kayak gitu. Dia tiba-tiba berbisik di telinga kiriku. Aku sedikit merinding mendengarnya. Dia tidak pernah berbicara sedingin itu selama ini. "Ayo, entar kalian udah gak dapet angkutan umum lagi." Syahran berjalan mendekati Ihsan kemudian mendorongnya menuju tangga.
Aku mengikuti mereka. Setibanya di lantai satu seorang pria paruh baya berdiri di pinggir lapangan aspal, sedang menghadap kami yang sudah sepenuhnya turun dari tangga. "Anda terlambat, tuan muda. Ibu anda pasti menunggu." Ujar pria itu.
"Iya, aku tahu. Maaf membuatmu menunggu. Aku sedikit membuat masalah. Tapi, sudah kuselesaikan." Balas Syahran sambil mengambil sepatunya di rak kemudian mendekati pria tadi dan memakai sepatunya. Selesai memakai sepatu, dia berbalik dan menatapku lekat-lekat. "Ihna, sampai ketemu nanti!" Ujarnya sambil memegang kedua tali tasnya erat-erat.
Tak terasa USBN telah tiba. USBN berjalan dengan lancar. Aku tidak merasa kesulitan karena sudah belajar setiap harinya walaupun semua itu untuk tes masuk SMP. Setelah USBN ini hari aku tes ke SMP yang kuinginkan pun tiba. Aku pergi ke SMP itu dengan gembira. Keanehan pun terjadi di sana. Aku melihat Ihsan di sana. Mungkin itu hanya bayanganku, atau hanya orang yang mirip dengannya. Aku sangat terkejut melihat sosoknya, meskipun hanya bayanganku.
Selesai UN, aku memberikan buku catatanku pada Ihsan. Kurasa sudah waktunya aku memberitahunya mengenai 'masalah' yang membuatnya khawatir padaku.
"Baca di rumah." Ujarku saat memberikannya ketika kami sedang menunggu angkot setelah hari terakhir UN. Dia terlihat terkejut ketika aku tiba-tiba menyodorkan sebuah buku catatan.
Hari kelulusan, hari yang kutunggu-tunggu. Walaupun orangtuaku tidak bisa datang karena sibuk bekerja, aku tetap senang karena aku akan melakukan sesuatu yang luar biasa hari ini.
Sesuai dugaanku, Alma dan Dinda menghampiriku ketika wisuda selesai dan mereka meminta maaf. Aku tersenyum ketika mereka meminta maaf padaku. "Baguslah kalian akhirnya sadar kalian salah. Sekarang ikut aku, ada yang ingin kutunjukkan pada kalian." Ujarku pada mereka.
Mereka mengikutiku keluar dari aula tempat wisuda dilaksanankan. Kami pergi ke taman toga, tempat yang ingin kukunjungi sebelum aku lulus. Kami masuk ke dalam taman tersebut dan aku meminta mereka bersandar di tembok dan menjulurkan tangan mereka.
Tidak kusangka mereka menurutiku, dalam sekejap, aku menyayat kedua tangan mereka dengan pisau buah yang sudah kusiapkan di tas kecilku. Mereka berteriak kesakitan. Padahal aku hanya memberikan luka kecil di kedua telapak tangan mereka.
"Wah.. harusnya kalian tidak merasa kesakitan. Ini hanya luka gores. Tidak lebih sakit daripada aku yang terbentur sangat keras di kepala." Ujarku kepada mereka.
Kemudian aku menodongkan pisau itu ke arah jantung Alma. "Aku bisa menusukkan ini sekarang karena kalian pasti tidak bisa meminta tolong. Mengangguklah jika kalian tidak ingin aku menusukkan pisau ini ke jantung kalian."
Mereka lagi-lagi menurut, namun kali ini sambil menangis karena aku sudah melukai mereka. Aku tertawa dengan sangat keras karena melihat mereka menurut seperti ini rasanya seperti berhasil menjinakkan hewan, sepertinya mereka memang hewan.
"Ya ampun, bisa-bisanya kalian mengangguk padahal biasanya orang kan menggeleng agar tidak dibunuh. Oh, kalian kan bukan manusia. Melihat kalian seperti ini, tidakkah kalian sadar kalian seperti hewan yang sedang dijinakkan olehku." Aku kembali bicara. Namun, mereka tidak membalas sama sekali.
Aku pun mengeluarkan tisu dari tas kecil yang kuselempangkan dari tadi di bahu kiriku menyilang di dadaku sehingga tas ada di pinggang kananku. Aku mengelap pisau dengan tisu itu karena ada sedikit darah di sana. Aku masih akan menggunakan pisau buah ini nanti. Selesai mengelap, aku mengeluarkan segulungan kain putih, ya itu perban.
Aku membalutkan perban tersebut ke luka yang ada di tangan mereka berdua. Mereka melihatku dengan ketakutan, sama seperti perempuan waktu itu yang tidak kuingat namanya. Aku membalut luka mereka dengan sangat rapi. Mereka harus berterima kasih padaku, tapi mereka tidak melakukannya karena mereka masih merasa takut. Ya, ini cukup untukku walaupun aku tidak jadi menusuk jantung mereka. Seharusnya mereka tidak usah mengusik hidupku sejak awal. Inilah balasannya.
Halo, semua. Author baru nyapa kalian (Padahal gak ada yang baca ini). Jadi, Author mau nyampein bahwa setelah ini ada bagian-bagian lain, ini bukan akhir dari ceritanya. Silahkan dinantikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Short StoryMengisahkan, seorang anak SD yang menjalani keseharian di tahun terakhirnya. Hal yang lebih menantang dari tahun-tahun sebelumnya menanti di depan matanya. Mampukah dia melewatinya? Note : Terinspirasi dari pengalaman pribadi (Tidak 100% sama persis...