Tidak ada yang bersuara di antara kami. Sepertinya aku membuat suasananya canggung lagi seperti saat ekskul. Aku tidak tahu bagaimana cara mencairkan suasana ini. Rasanya benar-benar tidak nyaman.
"Na." Dia tiba-tiba bersuara membuatku terkejut. "Angkot kayaknya gak lewat lagi. Mau lewat belakang?" Dia menunjuk sebuah gang di belakang kami dengan jari jempol kirinya. Aku bersyukur dia tidak menanggapi perkataanku tadi. Tapi rasanya masih sedikit aneh dia tidak menanggapinya. Aku hanya menjawab dengan anggukan karena tidak ada pilihan lain daripada aku terlalu lama menunggu angkot.
Kami berjalan di gang tersebut. Tak ada pembicaraan selama kami berjalan, akan tetapi aku cukup menikmati pemandangan di sekitar kami ketika kami berjalan.
"Na, rumah Pak Nadir tuh." Tiba-tiba saja Ihsan yang berdiri di sampingku bersuara ketika kami berada di depan sebuah rumah dengan halaman yang luas. Rumah itu adalah rumah guru kami, lebih tepatnya wali kelas kami ketika kelas 3. Di halamannya rumahnya terdapat pohon rambutan, kami dengan teman sekelas kami pernah diberikan rambutan tersebut oleh wali kelas kami itu. "Nyolong rambutannya, yuk."
Aku sedikit tertawa mendengar perkataan Ihsan. "Et iya, nyolong dong." Ujarku sambil tertawa. Aku sadar dia hanya ingin mencairkan suasana, jadi aku tertawa untuk mencairkan.
Setelah kejadian itu, Ihsan tidak membahas perkataanku. Esok harinya, aku berangkat ke sekolah dengan riang gembira. Hal ini dikarenakan kemarin tidak ada hal buruk menimpaku yang berkaitan dengan Alma dan Dinda. Selain itu, aku sudah menyelesaikan 'petaku', hanya tinggal menambahkan beberapa detail yang ingin kutambahkan.
Aku tiba di kelas dengan hati gembira walaupun Alma dan Dinda tetap menatap tajam padaku. Aku duduk di kursiku yang untungnya tidak ditempati 'sosok' menyebalkan. Anraf tiba lebih cepat dari biasanya, dia sudah ada di tempatnya sekarang. Atau mungkin aku yang datang sedikit terlambat?
"Gimana petanya? Apa yang perlu dibantuin?" Baru saja aku merasa senang karena pagi ini cukup tenang, 'sosok menyebalkan' langsung menghampiriku, berdiri di samping mejaku.
Aku pun membuka tasku dengan sedikit tidak semangat. Aku mengeluarkan sebuah kertas yang sudah tergambar peta Malaysia di sana. Aku meletakkan kertas itu di meja dan Fatih langsung mengambilnya dan mengamati hasil gambaranku. "Kok bagus?" Dia langsung mengomentarinya.
Anggota lain kelompokku pun ikut datang dan mengambil kertas yang dipegang Fatih dengan paksa. Dia hampir saja merobek kertas tersebut jika saja dia menariknya lebih kuat lagi.
"Apaan nih, belum diwarnain. Nama kota-kotanya juga belum ditulisin. Apanya yang bagus." Komentar perempuan itu.
Dia benar-benar ingin mencari masalah denganku, ya. Padahal aku yakin dia tahu bahwa tidak mungkin menyelesaikan gambar itu dalam sehari, dia sudah berkomentar hingga 'belum menuliskan nama kota'.
Dengan kesal aku menarik kertas itu dan berkata, "Emang belum beres, makanya masih belum bagus."
"Kalau belum selesai, ngapain dibawa terus ditunjukin ke Fatih. Caper lu?" Dia tiba-tiba berkata seperti itu membuatku semakin kesal. Ingin sekali aku memukul wajahnya yang menyebalkan itu, seperti wajah orang yang merasa berkuasa di atas segalanya.
"Pengen bawa aja. Entar kalau berantakan, Anda kan bakal protes. Mending ditunjukin ke Fatih dulu, kalau dia bilang bagus berarti aku bisa nyelesaiin gambar yang udah kubuat tanpa khawatir rusak." Balasku dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
"Halah, bilang aja caper. Orang kayak lu gitu suka gatel ke cowok-cowok kan." Dia membalas dengan kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan tugas.
Karena terlalu kesal, aku menghantamkan kertas peta itu dengan kuat ke meja hingga meja itu mengeluarkan suara yang membuat satu kelas terfokus pada kami. Aku kemudian mendekati perempuan itu hingga wajah kami hanya berjarak beberapa cm. "Hei, lebih baik kau diam saja. Sejak kemarin kau sudah membuatku kesal. Daripada menyesal, lebih baik kau diam saja, tidak usah berinteraksi lagi denganku. Aku bisa mengerjakan semua kerja kelompoknya, jadi jika kau tidak mau mencari materi, tidak masalah. Aku sudah menemukan banyak, dan tinggal menambahkan dengan hasil yang ditemukan Fatih. Kau mengerti, kan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
Short StoryMengisahkan, seorang anak SD yang menjalani keseharian di tahun terakhirnya. Hal yang lebih menantang dari tahun-tahun sebelumnya menanti di depan matanya. Mampukah dia melewatinya? Note : Terinspirasi dari pengalaman pribadi (Tidak 100% sama persis...