Jumat Berkah

5 2 0
                                    

Aku terbangun esok harinya. Bersiap untuk sekolah. Dengan pakaian muslim dan 3 buku catatan-- ditambah buku catatan 'harian'ku-- aku pergi ke sekolah dengan senang hati.

Selain karena perasaanku saat mengakhiri hari kemarin baik, aku senang hari ini juga karena hari ini pulang lebih cepat, setelah sholat Jumat dan besok adalah hari libur. Siapa yang tidak senang dengan pulang cepat dan hari libur?

Aku tiba di depan gedung kelasku. Namun, aku kembali berhenti ketika hendak menaiki tangga. Apalagi yang akan dilakukan Alma dan Dinda? Mereka pasti merencanakan sesuatu lagi, kan. Sebenarnya tidak masalah apapun yang mereka lakukan aku tinggal tidak meladeninya saja. Tapi, jika ada Fatih di sana, aku akan habis diinterogasi olehnya.

Pada akhirnya aku tetap melangkah menaiki tangga. Toh aku memang harus pergi ke kelas karena sudah berada di sekolah. Aku menaiki tangga perlahan karena tenagaku seketika lenyap memikirkan interogasi yang akan dilakukan Fatih. Karena kemarin aku bicara bahasa Jepang, pasti dia akan menginterogasiku dengan bahasa Jepang juga. Kurasa itu lebih buruk daripada berhadapan dengan Alma dan Dinda.

Setibanya di depan kelas, aku membuka pintu perlahan. Kemudian memperhatikan mejaku dari kejauhan. Tidak hal aneh kecuali ada seseorang yang duduk di depan mejaku yang saat ini membelakangiku. Aku tidak tahu siapa itu, yang jelas dia seorang laki-laki. Aku melihat sekeliling kelas yang masih belum terlalu ramai dan menemukan Alma dan Dinda yang sedang duduk di meja menatap tajam padaku. Sepertinya aku tidak bisa ke mejaku sekarang.

Namun, karena aku tidak punya tujuan lain selain duduk di kursiku, alhasil aku tetap melangkah ke mejaku tanpa melihat ke arah lain selain mejaku. Aku langsung meletakkan tas di kursi kemudian duduk di kursi tersebut. Seketika saja aku bertatapan dengan orang yang paling kuhindari untuk saat ini. Dia menatapku sambil menopang dagunya dengan tangan. Aku langsung menghindari pandangannya dengan mencari buku dan alat tulis dari dalam tas.

"Ohayō." Dia bersuara.

Aku langsung terdiam. Aku tidak ingin berbalik, tapi dia pasti akan semakin berbicara padaku jika aku tidak berbalik. Akhirnya aku mengeluarkan satu buku catatan pelajaran Bahasa Arab yang akan dimulai di jam pertama beserta kotak pensil. Aku menaruh kedua barang itu di laci mejaku kemudian memutar badanku kembali ke arah depan dengan mata tertutup karena aku tidak ingin melihatnya.

"Ohayō!" Dia menegaskan suaranya. Sepertinya dia marah karena aku tidak membalasnya. Tapi kan aku tidak ingin membalasnya. Kenapa dia tidak berhenti saja dan pergi dariku.

"Beneran deh, Na. Lu kenapa sih?" Tiba-tiba saja dia sedikit membentakku. Aku terkejut mendengar suaranya yang tiba-tiba membentak.

Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diri. "Anata wa tada no kurasumēto. Watashi no koto o kinishinaide. Doko ka ni itte!" Akhirnya aku bersuara. Semoga dengan ini dia bisa pergi dariku.

"Kurasumēto dake desu ne." Dia menghembuskan nafas kuat-kuat, namun tidak beranjak dari tempatnya. Aku heran kenapa dia masih mau berada di depanku padahal aku sudah mengatakan itu.

"Hai, dakara itte kudasai." Balasku sambil mengarahkan tangan kiriku ke pintu kelas.

"Kurasumēto dakede wa nakattara dō shimasu ka?" Dia malah semakin bicara bukannya pergi sesuai isyarat tanganku.

"Kimi wa hen'na otoko." Balasku. Sebelum dia semakin bicara, aku kembali angkat bicara. "Watashitachi wa tada no kurasumēto, sore wa jijitsu. Sono jijitsu o kaeru koto wa dekinai."

"Anraf mo tada kurasumēto?" Dia kembali bertanya. Aku mulai lelah menghadapinya.

"Iya. Udah ah sono pergi!" Aku mengeluarkan pulpen dari tempat pensil kemudian mendorong tangan Fatih yang ada di atas mejaku dengan pulpen tersebut.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang