1. santri biasa

14 3 0
                                    

Pagi ini masih seperti biasa, Aku sedang duduk anteng menyimak keterangan "Alfiyah tsani" yang telah dijelaskan secara gamblang oleh mustahiqku.

Oh iya, aku tahu kalian pasti bertanya-tanya, siapa itu mustahiq? aku yakin kata itu terdengar asing karena jarang digunakan di luar dunia pesantren. Mustahiq adalah istilah untuk seseorang guru yang memiliki hak penuh atas suatu kelas, atau pada umumnya disebut wali kelas. Mulai dari jurumiyah imriti sampai Alfiyah beliaulah yang mengampu pelajaran itu dari tahun ke tahun sesuai tingkatan. Dan saat ini kelasku sudah berada di akhir tingkat wustho (tengah). Tinggal menunggu ujian akhir tahun untuk masuk ke jenjang ulya(akhir).

Ah, aku sampai lupa sesuatu. Sebelum ku jelaskan lagi seberapa detail pesantren yang saat ini aku tinggali. Terlebih dahulu akan ku perkenalkan diriku.

Ummu Syarifa Ahmad, cukup panggil aku dengan nama tengahku, Syarifa. Tapi jangan berfikir Aku adalah salah satu keturunan Rasulullah ya. Karena aku hanyalah gadis biasa yang yang sedang sibuk menimba ilmu di pesantren "Raudhah" Malang .

Dan untuk nama itu, hanya sebuah kebetulan yang murni pemberian dari ayahku yang bernama Bapak Ahmad labib dan dari bundaku yang bernama ibu Ummu Salamah. Sebelum aku lahir mereka memang sudah merencanakan jika nanti akan mencantumkan nama keduanya untuk anak-anaknya kelak.

Benar saja, bukan hanya namaku saja yang mencantumkan nama kedua orang tuaku. Bahkan kedua adikku memiliki nama yang berawalan dan berakhiran yang sama denganku. Adik pertamaku bernama Ummu Sayyidah Ahmad dan si Ragil bernama Ummu Habibah Ahmad.

Seperti yang sudah kalian tahu aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara dan perempuan semua. Kalau dalam bahasa Jawanya diistilahkan dengan "gotong mayit". Entah Mengapa nenek moyang kita memilih istilah itu untuk tiga bersaudara perempuan semua. Yang bahkan ketika didengar tidak ada kesan feminim sama sekali. Justru seolah-oleh memiliki kesan buruk dan menakutkan.

Entahlah, mungkin kalian sependapat denganku yang masih tidak habis pikir dengan pemilihan kata tersebut. Berbeda sekali dengan istilah kembang sepasang (sepasang anak perempuan), serimpi (4 anak perempuan), ataupun pancagati (5anak perempuan) yang terdengar lebih kemayu / feminim meskipun kesan jawanya sangat kental. Pasti ada alasan dari pengambilan istilah tersebut. Namun sayangnya pengetahuanku tentang sejarah Jawa tidak terlalu bagus. Maka dari itu aku sering bertanya-tanya dengan banyak istilah yang tidak ku ketahui asal usulnya pada orang-orang terdekatku. Sayangnya tetap saja banyak teka teki diotakku yang tidak bisa dipecahkan.

Sudahlah. Lebih baik kita kembali ke topik perkenalanku. Aku asli orang Jogja dan Umurku sekarang sudah masuk ke 21. Yang konon katanya diumur likuran inilah manusia sedang berada difase bagus-bagusnya. Mengapa demikian? Karena orang Jawa mengistilahkan angka diatas 20 menjadi likuran yang disingkat dari kata "linggih kursi" yang menunjukkan tahta umur selikur(21) sampai songolikur(29) sedang berada diatas, masa jaya jayanya dalam menunjukkan eksistensinya pada dunia. Namun ada yang sedikit berbeda pada penamaan angka 25, bukan disebut limo likur tapi disebut dengan selawe yang ternyata melambangkan usia matang untuk melaksanakan bahtera rumah tangga. Karena kata selawe disingkat dari kata "seneng senenge Lanang wedok". Terserah mau percaya atau tidak, yang jelas, Nenek moyang kita dulu ternyata sejauh itu memikirkan suatu perkara untuk saling dikaitkan.

Dan yang jelas mereka memiliki ilmu titen yang tinggi sampai akhirnya segala hal yang berhubungan dengan kata ora ilok (pamali) masih sering menjadi pantangan tersendiri sampai detik ini. Jika tidak dituruti, ditakutkan akan terjadi sebuah bala' atau musibah.

Sebagai gadis yang mengenyam pendidikan di pesantren. Tentu saja sering terjadi pro kontra dalam hati kecilku tentang hal ini. Seperti kata salah seorang guruku yang mengatakan bahwa terlalu meyakini segala kata nenek moyang bisa menyebabkan minim keimanan dan mendahului garis takdir Tuhan, namun sama sekali tidak percaya pun tidak baik. Karena titisan darah Jawa mengalir pada diri kita. Darah nenek moyang yang juga membawa peradaban proses masuknya Islam di Nusantara. Bahkan jajaran nama wali songo selalu digadang-gadang ketika membahas nenek moyang tanah Jawa. Jadi lebih baik kita cari aman saja. Cukup menjadi ilmu titen saja, Selagi tidak sampai pada kemusyrikan.

Garis Takdir SyarifaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang