Bab 8 - Pertemuan Pertama

6 0 0
                                    


🍁🍁🍁

“Berani sekali, bocah nantang kita." Syatu preman memandang remeh Jidan.


Preman itu langsung mengepung Jidan, keduanya memasang kaki kuda-kuda tetapi Jidan tetap terlihat tenang. Satu bogeman mengarah ke wajah Jidan, dengan sigap ia menepis hingga membuat si preman berambut kriting malah memukul temannya sendiri.


“Lo, kenapa mukul gue," marahnya sembari memegangi sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.


Saat mereka lengah, Jidan langsung menendang bongkong preman berambut kriting hingga jatuh tersengkur bersama temannya.


“Kalian berani melakukan kejahatan di sini lagi, maka saya pastikan kalian masuk dalam jeruji besi," ancam Jidan, membuat nyali mereka menciut.


“Ba-baik, kami gak akan melakukannya lagi.”


Satu preman terbirit-birit layaknya di kejar setan, sedang satunya, berjalan dengan kaki pincang sembari memegangi sudut bibirnya akibat pukulan temannya sendiri.


Suara azan mulai terdengar dari dalam masjid. Jidan segera pulang ke rumahnya untuk melaksanakan salat asar. Ya, rumah mereka memang dekat dari daerah perkebunan.


Di tempat yang berbeda, Reyhan, Jihan, dan Nana tiba di Masjid Ar-Rahman. Salah satu masjid terbesar di kota itu yang terkenal akan bangunannya yang kokoh dan ukiran kaligrafinya yang unik serta mewah.


“Aku, permisi salat dulu,” pamit Reyhan sedikit canggung, pasalnya ia tidak mengenali dua gadis di hadapannya.


“Iya, silahkan, Kak,” sahut Nana antusias. Gadis berkacamata itu tersenyum lebar ke arah Reyhan.


Reyhan tersenyum sekilas, lantas pergi ke tempat wudu khusus pria.


“Ish, apaan sih, Na. Jangan genit-genit. Nanti kalau ceweknya tahu, bisa mati rasa kamu.” Jihan menyingkut lengan Nana sembari terkekeh dengan mulutnya yang ditutupi. Ia senang sekali menggoda sahabatnya itu.


“Masak, sih? Perasaan dia cowok baik-baik 'kan, masak punya pacar?” gumam Nana sembari menggaruk kepalanya yang tertutup hijab, "Han, kamu bo–” Nana menoleh ke belakang ternyata Jihan sudah pergi meninggalkannya menuju tempat wudu.


“Ish, ditinggal sendiri pula," rajuknya sembari menghentakkan kaki. Nana berjalan menuju pelataran masjid karena ia sedang datang bulan. Mungkin itulah sebabnya, emosinya jadi naik turun.


Tentang wanita yang sedang haid, jumhur ulama, yakni Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad sepakat wanita yang haid  tidak boleh berdiam di dalam masjid.


Akar perbedaan pendapat itu karena para ulama berbeda pandangan mengenai hadis Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, yang berarti,


“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud). Jumhur ulama menganggap hadis ini ini shahih atau hasan, sehingga mengamalkannya dengan mengharamkan wanita haid masuk dan berdiam di masjid.


Namun, ada ulama yang tidak menganggapnya sebagai hadis yang layak sebagai hujjah, karenanya mereka tidak mengamalkannya.


Namun, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, karena hadis di atas sesungguhnya hadis yang layak menjadi hujjah. Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah (Subulus Salam, I/92). (sumber: Ustadz Siddiq Al Jawwi).



Pukul 15. 30 jamaah mulai berhamburan. Jihan menghampiri Nana di pelataran masjid. Tidak lama kemudian, Reyhan juga menghampiri mereka.


“Makasih, ya, Kak, udah nolongin kita,” ujar Nana tanpa memperdulikan keberadaan Jihan. Sepertinya, ia masih kesal dengan sikap Jihan yang tiba-tiba meninggalkannya.

“Sama-sama, semua tak lepas dari pertelongan Allah juga," Reyhan tersenyum.


Nana semakin yakin, pria di depannya  adalah pria yang baik-baik.


“Kenalin, namaku, Nana.” Nana hampir saja mengulurkan tangannya untuk berkenalan, tapi Jihan  menyingkut lengannya agar tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Karena malu, Nana menampilkan deretan gigi putihnya sembari menelungkupkan tangan di depan dada.


Jihan dan Nana, mereka sering mengikuti kajian bersama Ustadzah Ratih-guru tempat mereka mengikuti kajian-di salah satu komunitas yang bernama 'Muslimah Berani Hijrah'. Oleh sebab itulah, mereka mulai paham mengenai batasan seorang wanita dan pria yang bukan mahram. Di sana, mereka juga banyak mempelajari banyak hal, mulai dari hal paling dasar dalam islam.


Namun, Nana orangnya sering pelupa dan Jihan tak pernah bisa untuk mengingatkannya.


“Namaku, Reyhan Saputra. Kalian boleh panggil aku, Reyhan. Aku mahasiswa semester enam.” Reyhan memperkenalkan dirinya dengan ramah sembari menelungkupkan tangan di depan dada.


Jihan dan Nana saling pandang, mereka baru tahu kalau ternyata Reyhan satu semester yang sama.

Reyhan Saputra, lelaki bertubuh jangkung, kulit putih bersih, hidung mancung, berlesung pipi indah, dan mata standar orang Asia Tenggara. Kepribadian Reyhan yang ramah dan sering tersenyum, membuat ia cepat akrab dengan siapapun termasuk orang yang baru ia kenal. Berbeda dengan Jidan–kakak kandungnya–cenderung tegas dan jarang tersenyum kecuali pada orang terdekatnya.



“Oke, siap, Reyhan,” sahut Nana, tak lupa dengan senyum manisnya.


“Namaku, Jihan.” Jihan menelungkupkan tangannya dengan kepala sedikit menunduk.


Reyhan membalasnya dengan senyuman, meskipun gadis itu tidak melihatnya.


Jihan menatap Reyhan sekilas dan bertanya, “Tadi itu … kakakmu?” tanya Jihan sedikit canggung.



“Iya, itu tadi abangku. Namanya Jidan."


“Wah, nama kalian hampir mirip tuh, hanya beda d dan h,” celetuk Nana yang langsung mendapat pelototan Jihan.


“Terima kasih, ya, Reyhan, dan sampaikan juga terima kasih kami untuk abangmu.” Jihan tersenyum sekilas sembari tangannya memegangi lengan Nana agar tidak bicara ngelantur.


“Iya, sama-sama. Insyaallah aku sampaikan.”


“Kalau begitu, kami pamit pulang dulu," pamit Jihan merasa tidak enak bila terlalu lama mengobrol dengan pria yang belum dikenalnya.


“Iya, hati-hati.”


Jihan dan Nana tersenyum. “Assalammu’alaikum,” salam keduanya.


“Wa’alaikumussalam.”


Masjid Ar-Rahman, tempat indah yang menjadi momentum pertemuan pertama antara Jihan dan Reyhan.

🍁🍁🍁

Ikhlas Bersamamu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang