Semesta

36 5 0
                                    

Pada penghujung bulan Mei, anak Adam yang diberi ibunya nama Hersa itu, sedang mengamati seorang puan cantik di bawah pohon palem. Indah. Hersa jatuh cinta. Untuk sementara, biarkan kesimpulan ini yang mengudara.

Dengan bimbang tapi penuh kebahagiaan meletup, Hersa menghampiri gadis itu. Hersa rasa, tidak tahu apa artinya, ia harus mengenal sang puan yang telah mencuri hatinya.

"Maaf puan, anasir satu ini namanya Hersa, boleh tahu nama puan?" Anggap saja Hersa tidak tahu malu, dengan lancang duduk di sebelah gadis yang bahkan belum selesai mencerna ajakan Hersa untuk mengenalnya.

"Mei, namaku Mei." Suara lembut dan indah mengalun. Hersa bersumpah demi cintanya pada kolor bolong milik sang kakek, selain lagu Bohemian Rhapsody milik Queen tidak ada lagi suara seindah dan secandu insan yang ada di hadapannya sekarang.

Nah, semesta, kalau diijinkan bertemu, jangan dipisahkan, ya?

Kisah yang di tulis sang penulis dibuat singkat. Langsung saja, ya?

Mei dan Hersa sedang berlutut mengemis pada bumi agar tidak dibuat babak belur. Kasihan keduanya sudah sekarat.

Mei itu banyak resahnya. Sudah berulang kali dijelaskan, tapi mengapa Hersa masih belum paham, Mei itu patah yang bagaimana?

Lalu, Hersa? Sejujurnya, pemuda itu masih bingung bagaimana Mei menjelaskannya.

Semakin lama Hersa mengenal puan dambaan nya, Hersa tahu bahwa gadis itu penuh kelam. Bukan mati yang Mei takutkan, tapi hidup yang jauh lebih mengerikan.

Satu hari pernah Hersa dapati gadis itu penuh luka, tangannya penuh dengan lukisan cantik, kamarnya seperti kubangan darah. Meja riasnya terisi banyak pil-pil penahan kegilaan. Anak itu, Hersa tahu tidak baik-baik saja.

Ketika ditanya apakah dia baik-baik saja, Mei selalu menjawab "Aku baik, tapi aku juga jauh dari kata baik-baik saja." Lalu ketika Hersa bertanya lebih lanjut, kekasih yang sudah bersama dengannya selama 3 tahun itu pasti menghindar.

Mei bukannya tak ingin berbagi. Tapi ia juga tahu, Hersa pemuda yang sejauh ini bertahan di sampingnya pun sama-sama terluka. Pembawaanya yang tenang hanya topeng bahwa isi pikirannya yang abstrak berkelana di kepala. Dan ketika Mei tahu bahwa keduanya sama-sama babak belur, bagaimana bisa Mei tega berbagi sakit?

Walaupun begitu, keduanya juga penuh bahagia. Perjuangan Hersa untuk membuat Mei mau bersamanya banyak diisi duka. Lantas setelah itu, setidaknya harus ada cerita baik, kan?

Kedua manusia ini sedang berkunjung ke taman, ada seperti sungai kecil di tengahnya. Menggenggam lembut, Hersa ajak Mei menyewa sampan. Indah, asri dan rindang. Mei menyesal mengapa baru sekarang dirinya kesini. Mengapa ketika disaat dia sudah semakin lelah bertahan? Ah, kenangan.

"Mei, besok aku pulang malam, ada pekerjaan yang harus aku kerjakan, jangan kemana-mana tanpa ku, ya?

Rencananya Hersa ingin melamar Mei. Ia akan membeli cincin paling indah dan juga bunga lili putih kesukaan gadis itu.

Dengan patuh Mei mengangguk. Hari esok doakan baik, ya? Jangan sampai yang sekarat, harus mati. Jika diijinkan, gundah yang mengganggu Hersa biarkan berlalu. Mimpinya soal Mei yang pergi, semoga cuma bunga tidur.

Semesta, jangan porak poranda lebih lagi ya? Sekali, tolong, jadilah ramah.

MeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang