Chapter 3

992 103 72
                                    

Gue nggak habis pikir sama orang tua yang suka main kasar ke anaknya meski mereka yang bikin dan ngebesarin, kayak merasa paling berhak. Padahal setiap manusia yang lahir di dunia ini adalah milik diri sendiri, bukan properti orang tua, atau milik pasanganya kelak. Gue tekanin, perlakukan bokapnya Millie tadi nggak pantas disebut sebagai orang tua.

Huft! Niat mau nganter pulang malah zonk karena Millie diusir bokapnya sendiri. Gue nggak paham lagi sama orang tua model begitu. Ini anak kandungnya lho, cewek, yang harusnya diposesifin.

Habis gue kasih tahu siapa keluarga gue bokapnya langsung masuk ke dalam rumah dengan tampang kecut, anaknya nggak dibawa masuk, bego! Malah dilemparin koper—kayak niat banget ngusirnya.

Mau sombong sama gue? Gue bisa lebih sombong! Aslinya gue ini sangat low profile, buktinya gue sengaja menyembunyikan nama belakang gue. Bukan apa-apa, karena waktu gue SMP semua orang mendekat kayak lalat, mereka berusaha ngambil hati gue setelah tahu gue berasal dari keluarga mana, bikin jijik. Kalau kata orang Jawa; konco plastik.

Sekarang Millie ada di dalam mobil gue. Bokapnya yang kayak setan nggak mau bukain pintu sama sekali. Edan.

Gue melirik doi sekilas, kelihatan raut wajahnya yang masih syok gara-gara diusir. Jari-jarinya bahkan gemetar, dan matanya sangat merah karena kebanyakan nangis.

"Gue...," Millie ragu memulai pembicaraan, "gue nggak nyangka kalau kakak keponakan Presiden. Bahkan Ayah kakak seorang jendral. Nggak cuma kentut keluar duit, tapi kakak juga terhormat." Millie menatap gue penuh penilaian.

"Kenapa emang? Lo mau memanfaatkan gue lebih dari pacar, atau lo mau coba-coba jadi istri gue? Jangan ngimpi kalau itu." Gue berkata judes, jujur mood gue ancur gara-gara kejadian tadi.

Millie tersenyum hambar. "Mana berani gue bermimpi setinggi itu, bisa dikutuk jadi keong emas. Gue juga tahu diri kalau lo nggak mungkin menikahi cewek modelan gue."

"Cewek kayak gimana maksud lo?" tanya gue langsung.

"Kakak nggak sadar setelah kejadian di rumah gue tadi?" Millie menghindari tatapan gue dengan pura-pura melihat jalan raya. "Our world is different."

"Dunia gaib maksudnya?" sindir gue.

Kemudian Millie berkata dengan suara pelan, "Kak Damar berasal dari keluarga yang sangaaaaattt tinggi, saking tingginya gue sampe nggak berani nengok ke atas. Mau dipaksain, kita nggak akan pernah cocok. Masalahnya bukan hanya pada diri gue, tapi keluarga gue juga bermasalah. Abrisam bukan sembarang nama, nggak mungkin kan kakak memungut sesuatu yang hanya akan menjadi aib."

Lalu doi meneruskan, "tapi makasih banyak kakak udah bantu gue malam ini. Udah bantu gue menjauhkan kak Ginu juga. Sebenarnya, papa mencoba menjodohkan gue dengan kak Ginu—lebih tepatnya dijual. Tapi sekeras apapun gue berpendapat nggak pernah didenger papa, dan akhirnya gue minta bantuan kak Damar. Kakak berhasil menyingkirkan kak Ginu, tapi gue harus menjadi bahan bulan-bulanan papa." Millie menghela napas, kini menatap gue dengan senyuman palsu. "Mmm... kak, tolong turunin gue di Halte depan bisa?"

"Heh! Lo mau kemana?" Gue yang binggung plush nggak bisa mikir langsung banting setir buat menepikan mobil.

Mau ni cewek apa sih? Gue udah berbaik hati nganter pulang tapi malah ikutan drama keluarganya. Habis itu doi diusir, dan gue yang nggak bisa melihat doi nangis sendirian di teras membawa masuk ke mobil gue tanpa rencana apa-apa.

Gue lantas mencengkram pergelangan tangannya, "gue tanya sekali lagi, lo mau kemana?"

"Le—lepasin kak, sakit," gumam Millie mencoba melepaskan cengkraman gue. "Gue mau pergi."

SWEET AS HELL [Mini Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang