Chapter 5 (Epilog)

1.4K 134 146
                                    

Ini part terakhir cerita bang Damar dan Milliea, jadi please kasih like dan komennya yang banyak buat apresiasi 🧡

Yang mau mengucapkan salam perpisahan sama mereka juga boleh. Apapun itu, silahkan katakan di komentar..

Happy reading 😁😄😆

🐜...

Gue udah capek sama cerita penuh drama ini. Lo semua juga capek bacanya, kan? Masalahnya, perih di dada gue nggak bisa dibohongi, hati gue lebih capek cuy. Yang gue rasakan sekarang bener-bener mirip penggalan lagunya Tulus.

Kasih sayangmu membekas,
Redam kini sudah pijar istimewa,
Entah apa maksud dunia,
Tentang ujung cerita, kita tak bersama...

Oke, gak usah lebay! Lo gak cocok jadi bocah sok labil begini, Damara Akbar!

Setelah membaca surat dari Millie yang terpikirkan di otak gue hanya Bapak Amar Akbar Abrisam, aka bokap gue. Seribu persen yakin.

Hampir satu bulan gue menjalani kehidupan tentram dan damai, padahal udah kelewat batas—gue sadar diri. Goblok, harusnya gue merasa aneh. Nggak mungkin bokap nggak tahu apa-apa, dan itu adalah point dari semua permasalahan ini.

Biar bokap gue memberikan kebebasan, namun etika, moral, dan tanggung jawab itu nomer satu di mata bokap. Yang artinya, gue tetap diawasi. Intel bokap dimana-mana. Kenapa gue bisa lupa tolol?!

Jam telah menunjukan pukul tujuh malam ketika gue sampai di rumah utama keluarga. Suasananya mendadak angker, bukan karena rumah gue ada gendruwonya, tapi karena kedatangan gue disambut dengan tatapan tajam dari bokap. Muka bokap kayak udah gedeg banget sama putranya, dan muka Bunda yang terlihat tegang.

Kakak gue yang biasanya tinggal di asrama bahkan mampir ke sini bawa anaknya—abang gue duda, namanya Dipta Akbar Abrisam. Cuman Jamie dan Jaema Akbar Abrisam—adek kembar gue yang gak ada di rumah. Lagi latihan muay thai.

Lo boleh bilang bokap gue nggak kreatif kasih nama. Emang, bokap udah males banget cari nama anak, jadi nama depan kami aja yang dibikin beda.

Apa lagi nama gue, pas huruf D-nya dihapus jadi nama bokap deh. Parah, tinggal beli buku nama-nama anak di Gramedia paling ceban doang. Masih banyak nama lain yang lebih kreatif, misalnya Thomas, Percy, atau James juga boleh. Emang kebangetan bokap gue.

Mungkin karena itu sifat bokap yang keras jadi nurun ke gue. Meski pas muda kakek-nenek gue nggak pernah dapet telpon dari kantor polisi tengah malam karena anaknya tawuran atau ikut balapan liar. Kata Bunda, kalau bisa gak pa-pa dah gue masuk perut lagi karena keseringan bikin ulah, padahal buat gue biasa aja.

Flashback cukup sampai disini, sekarang balik ke mode serius. Perang dunia akan segera di mulai.

Gue samperin keluarga gue yang lagi duduk di ruang tengah, gue tebak mereka udah tahu soal kedatangan gue. Kalau nggak mana mungkin Bang Dipta yang masih pakai seragam dinas lengkap juga ada?

"Ayah benar-benar nggak percaya siapa yang datang sekarang," ucap Ayah sarkas. "Ternyata kamu masih ingat jalan pulang ke rumah?"

Ini bukan sambutan yang menyenangkan karena sejak awal gue udah ditatap tajam. Kesannya kayak kriminal. Tapi emang gini sikap Ayah, nggak suka basa-basi tujuh tanjakan tujuh tikungan. Langsung straight to the point.

SWEET AS HELL [Mini Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang