Wooyoung memicingkan mata, menatap makhluk di hadapannya ini dengan seksama sambil bertopang dagu. "Tadi pagi, aku bertemu Isla di dapur."
Mingi mengangkat alisnya, "Lalu?"
"Terdapat hickey di lehernya."
"Lalu?"
"Apa maksudmu dengan lalu? Kau yang melakukannya kan?"
Mingi memijit pelipisnya, "Ya, lalu kenapa?"
Wooyoung menganga, tak menyangka bahwa bosnya akan melakukan hal itu pada tawanannya sendiri dan tidak mungkin hanya sekedar kecupan di leher, pasti lebih dari itu. "Apa yang kau pikirkan?"
"Sejujurnya, tidak ada. Kami berdua sudah dewasa, Woo. Isla bukan perempuan di bawah umur. Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu."
"Kau berubah, Mingi. Kau berubah karena Isla."
"Aku berubah menjadi lebih baik. Tidakkah kau sadari bahwa aku menjadi lebih terbuka sekarang?" Nada bicara Mingi meninggi, "Kau seharusnya mensyukuri itu, Wooyoung."
"Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Mingi." Wooyoung menghela napas, "Jangan jadikan Isla pengalihan atas kejadian empat tahun lalu."
"Isla bukan pengalihan dan aku tidak berniat menjadikannya begitu. Ia membantuku sembuh." Pandangan Mingi menerawang jauh, "Aku tidak menyesal bertemu dengannya, kedatangan Isla adalah hal terbaik setelah empat tahun yang mengerikan untukku."
*****
Suara air mendidih membuat Isla tersadar dan cepat-cepat memasukkan mie instan ke dalam panci. Ia melewatkan makan malam karena ketiduran di perpustakaan sehabis makan siang. Isla masih merasakan pegal-pegal pada badannya. Apalagi Wooyoung yang melihatnya dengan pandangan menghakimi pagi tadi. Mungkin karena tanda yang dibuat Mingi tampak sangat jelas.
Isla menahan senyum, ingatannya melayang pada kejadian semalam di mana Mingi memeluknya sampai tertidur. Tidak meninggalkannya barang sedetikpun. Bahkan ketika Isla membuka mata di pagi hari, pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah Mingi yang mengusap rambutnya dengan lembut.
Lamunan Isla buyar ketika mendapati sepasang tangan melingkari tubuhnya. Sedikit sesak namun hangat di saat yang bersamaan.
"Hi, gorgeous."
Ya Tuhan, kuatkan iman Isla. "Hai." Tangannya sedikit gemetar ketika memasukkan bumbu lalu mengaduk mie instan tersebut.
"Can I eat you later? I'm hungry." Bibir Mingi mengecup daun telinga Isla dengan sensual dan berakhir menggigit lehernya. Gently, but passionattely.
"Mingi.." Walaupun Isla tersipu dan merona karena perkataan Mingi, tak bisa dipungkiri bahwa rasa lapar lebih mendominasi saat ini. Mingi terkekeh dan akhirnya melepaskan rengkuhannya, ia mengamati Isla yang sedang memindahkan panci berisi mie instan ke atas kitchen counter lalu mengambil sumpit.
"Kau mau?" Tawar Isla dan dibalas anggukan antusias oleh Mingi. Ia cepat-cepat membuka mulut dan menerima suapan dari Isla.
"Tahu begitu, aku masak dua bungkus tadi." Gumam Isla, padahal ia yang kelaparan tapi Mingi terlihat lebih bersemangat.
"Tidak perlu, habiskan saja." Mingi memandangi Isla dengan senyum, "Mau tidur bersama malam ini?"
"Uhuk!"
Sepertinya Mingi salah bicara, ia segera mengambil air minum dari dalam kulkas dan menyerahkannya pada Isla.
"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Maksudku, tidur bersama seperti berpelukan."
Isla mengusap sudut bibirnya lalu menatap Mingi dengan malas, "Tidak apa, aku juga salah mengartikan."
Keduanya terdiam untuk beberapa saat, padahal hanya kesalahpahaman kecil tapi Isla dan Mingi tidak mau menatap satu sama lain karena malu.
Untuk menetralkan wajahnya yang memerah, Mingi meneguk segelas air. Berharap dapat membuatnya menjadi lebih santai.
"Aku mau tidur denganmu, seperti yang kau bilang tadi, berpelukan." Isla tersenyum kecil lalu menggigit ujung sumpitnya, "Tapi aku juga tidak masalah jika kita 'tidur' dalam konteks yang lain."
Kali ini, giliran Mingi yang tersedak sementara Isla terbahak-bahak. Respon Mingi sangat lucu, wajahnya yang sudah normal kembali memerah.
"Kau mempermainkanku!" Mingi mencondongkan tubuhnya lebih dekat, "Tapi, kau serius ingin melakukannya lagi?"
"Tidak mau! Aku masih susah berjalan."
Mingi terkekeh lalu mengecup pipi Isla, "Gemas sekali sih."
"Aku bukan anak kecil."
"Kau anak kecil bagiku." Mingi memandangi Isla dari samping, "Aku nyaris tiga puluh tahun sementara kau baru berusia dua puluh satu."
"Benar juga, aku seperti memiliki sugar daddy." Jawab Isla sambil mengunyah mie instannya yang hampir habis. Ia benar-benar kelaparan.
"Lalu? Kurasa itu keren. Kau tidak perlu bekerja di Red Dragon karena sudah mempunyai sugar daddy yang kaya, tampan, emmm apalagi? Oh, seorang mafia! Hidupmu benar-benar seperti di dalam film, Isla."
"Pertama, aku masih ingin bekerja di Red Dragon. Kedua, kau narsis. Ketiga, kau menjadikanku tawanan." Isla mengulum bibirnya, "Tapi, itu benar bahwa kau tampan, jadi kau dimaafkan."
Rasanya sudah lama sekali sejak jantung Mingi berdebar seperti ini. Konyol memang, ia kembali menjadi anak remaja yang baru mengenal cinta. Cinta? Mingi rasa belum sejauh itu, mungkin baru sekedar saling suka. Tapi Mingi dapat menjamin bahwa ia membutuhkan Isla dalam hidupnya.
"Aku merindukan Yuqi." Ucap Isla sambil mendorong panci yang tinggal bersisa kuah itu menjauh.
Mingi sudah tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Bolehkah aku pulang, Mingi?"
Tidak boleh.
"Aku masih ingin kau berada di sini." Ungkap Mingi pelan, "Aku ingin kau tinggal lebih lama."
Isla menghela napas panjang, "Aku juga punya kehidupan lain, Mingi. Aku harus bekerja, aku tidak bisa meninggalkan tanggung jawab. Terlebih lagi, aku tidak bisa meninggalkan Yuqi."
Jika Mingi egois, Isla juga bisa. Ia menyukai pria ini, tentu saja. Tapi Isla tidak bisa terus menerus menggantungkan hidupnya pada Mingi.
"Bagaimana dengan kita?"
Keduanya bertatapan, Isla mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Mingi perlahan. Lebam itu masih ada, belum memudar. Begitu juga dengan luka pada pelipisnya. Sesungguhnya, Isla tidak sanggup jika harus melihat Mingi seperti ini, terluka karena pekerjaan kotornya. Ia menginginkan sisi Mingi yang lain, sisi Mingi yang ia temui ketika membuka mata di pagi hari.
"Kita akan baik-baik saja."
Isla tidak yakin dengan ucapannya, tetapi untuk saat ini hanya itu yang mampu ia katakan. Karena sejujurnya, Isla tidak berharap banyak dari kelanjutan hubungan mereka. Isla tidak ingin Mingi terluka padahal luka adalah bagian dari pekerjaannya.
Tubuh Isla sudah berpindah ke atas pangkuan Mingi, ia melingkarkan kedua tangannya pada leher pria itu sementara Mingi merengkuh pinggangnya. Bisakah mereka memiliki hubungan layaknya pasangan normal?
Tak ada kata yang terucap, karena lebih baik diam ketimbang mendengar kalimat yang menyakitkan. Mingi baru mendapatkan Isla, ia tidak siap jika harus kehilangan untuk yang kedua kalinya.
*****
To be continued...
![](https://img.wattpad.com/cover/286586618-288-k778749.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE VICIOUS ONE // Song Mingi ✔
FanfictionYoon Isla hanyalah seorang mahasiswa biasa yang bekerja paruh waktu untuk mendapatkan tambahan uang. Tetapi hidupnya seketika berubah ketika menyaksikan suatu peristiwa yang seharusnya tidak ia lihat. Detik itu juga, Isla terseret ke dalam permainan...