V. Us

568 34 4
                                    

Situasi berubah runyam semenjak kejadian Mingi memeluk Isla di dapur. Keduanya tak lagi berbicara, bukan karena mereka saling menghindar tetapi karena Mingi harus pergi keluar kota keesokan harinya. Dan kali ini, Mingi membawa Wooyoung untuk menemaninya. Isla bisa saja melarikan diri karena yang menghuni rumah ini hanya para pelayan dan dirinya. Tapi Isla tidak melakukannya, tidak sebelum ia mendapatkan penjelasan atas pembunuhan itu.

Terhitung sudah empat hari Mingi pergi dan Isla merasa hampa. Bukan, bukan tentang lelaki itu. Tetapi dirinya. Ia merindukan Yuqi dan Red Dragon, meskipun Isla baru sebentar bekerja disana. Mingi melarang segala bentuk komunikasi baik telepon rumah ataupun ponsel, membuat Isla semakin merindukan sahabatnya itu.

Isla memandangi kamar berpintu abu-abu di hadapannya ini. Kamar itu tidak dikunci tetapi tidak pernah dimasuki. Isla masih memegang teguh perintah Wooyoung walaupun ia penasaran setengah mati.

"Kau serius tidak mau ke rumah sakit?" Suara Wooyoung terdengar menggema saat pintu depan terbuka. Isla melongok dan mendapati lelaki itu sedang berjalan di sebelah Mingi. Mereka berdua sudah pulang rupanya.

"Ini hanya lebam, Woo."

"Tetap saja akan terasa sakit nanti."

Isla langsung masuk ke dalam kamar karena Mingi sudah berjalan ke lantai dua, sempat ia dengar langkah kaki pria itu berhenti sejenak di depan kamarnya kemudian berlalu.

Apakah Mingi terluka? Pekerjaan apa yang sebenarnya ia lakukan di luar sana?

Ketika suara Wooyoung sudah tidak terdengar, Isla mengendap-ngendap keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar Mingi, tanpa menunggu jawaban dari dalam ia langsung masuk dan berhadapan dengan pria itu. Mingi hanya memakai celana kain hitam tanpa atasan. Dengan kata lain, Mingi bertelanjang dada.

God damn.

"Isla?"

"Hai." Kuatkan iman Isla untuk fokus pada wajah Mingi dan tidak melihat ke arah yang lain, "Tadi sempar kudengar sekilas kalau dirimu terluka."

Barulah Isla menyadari pria itu tengah mengobati wajahnya yang lebam keunguan, mungkin akan membiru besok. Pelipis Mingi berwarna kemerahan, seperti tergores benda tajam.

"Hanya luka kecil, aku baik-baik saja."

Gadis itu tidak menjawab dan menyuruh Mingi untuk duduk di tepi kasur sementara Isla berdiri di depannya. Ia mengambil alih pekerjaan Mingi dan mulai mengobati wajah lelaki itu.

"Katakan jika terasa sakit."

Sial mengapa suara Isla terdengar gemetar? Ia tidak boleh menangis hanya karena tidak bertemu Mingi selama beberapa hari dan pria itu kembali dengan luka di wajahnya bukan?

Mingi mengamati Isla, gadis itu memang mengobatinya tapi enggan menatap matanya. Ia fokus pada handuk hangat di genggaman dan dengan perlahan menyapukannya pada wajah Mingi.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Mingi setelah hening beberapa saat.

"Baik." Suaranya tercekat, "Kau tidak boleh mendadak pergi dan pulang terluka seperti ini."

"Ini bukan apa-apa."

Jemari Isla meraih obat antiseptik dan mengoleskannya pada pelipis Mingi.

"Aku merindukanmu."

Jemari Isla menggantung di udara.

"Tatap aku, Isla."

Gadis itu menggeleng dan Mingi meraih dagunya sehingga ia menoleh. Keduanya bertatapan dan Mingi tidak ragu ketika wajahnya bergerak mendekat hingga hidung keduanya bersentuhan.

THE VICIOUS ONE // Song Mingi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang