Chapter 4

686 133 3
                                    

Mayla masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sudah tiga hari dia dirawat karena asam lambungnya naik. Tidak ada yang diberi tahu, satu orang pun dari pihak keluarganya, termasuk suami dan juga ibunya. Hanya dua sahabatnya yang setia menemani.

Gadis itu terbangun ketika mendengar suara mengaji, di dekatnya. Suaranya sangat merdu dan menenagkan.

"Alhamdulillah kamu sudah bangun," ujar Riris, gadis manis yang terlihat menarik dalam balutan kerudung lebarnya. Riris pun menutup Al-Qur'annya, dan menyimpannya di atas meja dengan hati-hati.

Tiap melihat Riris, hati Mayla merasa adem. Riris seperti tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Keluarganya sangat harmonis. Uminya dan abinya seorang aktivis dakwah. Dan Mayla selalu merasa nyaman, jika berada di tengah keluarga Riris. Tiba-tiba mata Mayla berair. Ada rasa sesak menyeruak dadanya.

"Bagaimana kondisimu sekarang May, sudah baikan kan?“

"Alhamdulillah sekarang aku sudah baikan, Ris. Perutku sudah adem, nggak seperti pertama masuk ke sini, sakit banget," jawab Mayla.

Riris mengucapkan Hamdallah, ia sangat senang mendengar penuturan Mayla, kalau gadis cantik itu sudah merasa baikan.

"May, kamu sama sekali nggak ada niatan buat ngasih tahu ke Haga, kalau kamu ada di sini, sekarang? Atau ngasih tahu ke ibumu?" tanya Riris hati-hati.

"Untuk apa?" tanya Mayla dengan tatapan sedihnya.

"Biar mereka tahu kalau kamu sedang sakit, dan butuh sedikit saja perhatian mereka. Selama ini, kamu selalu menahan semuanya sendirian, sampai kamu harus tumbang." Dara yang baru saja masuk ke dalam ruangan, ikut menimpali apa yang dikatakan Riris.

Mayla menggigit bibirnya pelan. Sebenarnya ia sudah tidak kuat hidup bersama Haga yang tidak pernah menganggapnya ada. Laki-laki itu dari awal mereka menikah sudah memperlihatkan rasa tidak sukanya.

"Kalau bukan karena mama, aku nggak pernah sudi menikahimu. Jadi, dari mulai sekarang, kamu jangan pernah banyak berharap kalau aku bakal jatuh cinta sama kamu. Itu nggak mungkin banget. Kita nikah hanya di atas kertas saja, selebihnya kita hidup masing-masing. Kamu dengan hidupmu, dan aku dengan hidupku!" itu adalah perkataan Haga yang diucapkan di malam pertama mereka. Laki-laki itu seperti jijik terhadapnya.

"Baiklah, sampai berapa lama kita akan bertahan seperti ini? Karena jujur aku juga muak dengan pernikahan ini," jawab Mayla tidak kalah dinginnya.

"Nanti aku akan cari cara agar kita bisa lepas dari pernikahan ini," ujar Haga yakin.

Mayla tidak berkomentar saat itu. Dia memilih mengikuti apa yang direncanakan oleh Haga. Dan pernikahan mereka sudah berjalan empat bulan. Tidak ada tanda-tanda kalau Haga akan melepaskannya. Yang ada, sikap Haga sering membuat hatinya sakit.

Jika Riris dan Dara tetap memberi tahu Haga atau ibunya, mereka tidak akan pernah peduli dan Mayla terbiasa hidup sendiri, meredam segala luka sendirian.

"Kalau di antara kalian tidak pernah ada cinta, kenapa harus bertahan sih' May?" tanya Dara.

Mayla menatap langit-langit rumah sakit dengan perasaan sedih. Ada alasan yang membuatnya harus tetap bertahan. Ia tidak ingin melihat ibunya kecewa, karena harus hidup susah. Mama adalah orang yang benci hidup susah. Pernikahannya dengan Haga, membuat wanita itu bahagia, karena anaknya menikah dengan anak sahabatnya yang kaya raya, otomatis segala kebutuhannya tercukupi. Haga memang royal jika dalam masalah uang, atau itu sebagai bagian dari tanggung jawab.

"Aku bertahan demi mama," terasa sangat berat Mayla mengungkapkannya. Kalau nanti ada perpisahan, itu semua karena Haga yang menginginkannya.

Riris dan Dara menatap Mayla dengan perasaan sedih. Tante Reta adalah satu-satunya ibu yang di mata mereka tidak punya hati. Mengorbankan kebahagiaan putrinya demi ambisi pribadi yang gila harta. Mayla tidak pernah bahagia. Wanita itu gemar wara-wiri di acara arisan sosialita, gemar pamer di sosial media. Tapi tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh putrinya, yang kerap menangis dalam diam.

Menghalau Serpihan LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang