Chapter 11

567 121 6
                                    

Mayla ingin rasanya mengamuk untuk menumpahkan semua emosinya. Dia tadi, buru-buru datang ke rumah mamanya, katanya ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan, tapi ujung-ujungnya sang mama meminta uang lagi.

"Mama minta uang lima puluh juta, buat jalan-jalan ke Hongkong sama teman Mama minggu depan," ujar Reta tanpa beban, seakan uang segitu adalah daun yang bisa dipetik dengan gampang.

Mayla diam, ia bingung harus menjawab apa. Haga sudah ngasih jatah uang perbulan buat mamanya, tapi selalu merasa kurang. Terkadang jatah uang Mayla pun diberikan pada mamanya, kalau dia minta.

"Mayla kamu dengar kan, apa yang dikatakan Mama barusan?"

"Aku tidak punya uang sebanyak itu," dusta Mayla. Ia sebenarnya punya tabungan, tapi itu untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk dalam hidupnya, dan mama tidak perlu tahu.

"Ya, kamu tinggal minta sama suami kamu, percuma Mama menikahkan kamu dengan anak orang kaya, kalau kamu nggak bisa memenuhi keinginan Mama. Kamu nggak malu, pas Mama jalan-jalan, cuma ongkang-angking doang, sedangkan teman Mama pada belanja?"

Rasanya Mayla ingin menangis mendengar penjelasan dari mamanya. Sejak kapan menantu bisa berubah jadi mesin ATM-nya? Lagian jalan-jalan ke luar negeri bukan sesuatu hal yang penting.

"Ma, uang lima puluh juta itu bukan pasir, yang bisa dikeruk begitu saja."

"Mayla, uang segitu buat suamimu adalah recehan, kamu jadi istrimu itu pintar sedikit apa, jangan jadi perempuan bodoh terus-menerus. Punya suami kaya itu, manfaatkan uangnya. Masa hal begitu aja, harus Mama ajari terus-menerus."

"Mama minta langsung aja ke Haga, Mayla nggak berani. Lagian uang yang Mama minta bukan untuk kebutuhan yang mendesak, tapi untuk kesenangan Mama sendiri," kali ini Mayla berusaha menentang keinginan ibunya.

Reta berteriak marah, ia tidak suka keinginannya ditolak.

"Kamu jangan lupa, kalau Mama melahirkan dan membesarkanmu tidak gratis. Kamu harusnya bersyukur, memiliki wajah cantik, hidupmu juga nggak pernah kekurangan. Mama selalu penuhi apa yang kamu inginkan. Tapi giliran Mama minta sedikit saja dari kamu buat nyenengin Mama, kamu nolak!"

"Sejak kapan aku punya keinginan, Ma? Hidupku dari  dulu tidak ada bedanya dengan robot, segalanya diatur atas keinginan Mama. Ketika aku punya pilihan, selalu salah dan salah. Aku capek, Ma. Kapan aku bisa jadi diri sendiri, dan Mama tidak merecoki hidupku? Aku bukan tambang emas, yang bisa di manfaatkan sesukanya. Aku manusia, punya hati dan perasaan."

"Dasar anak bodoh, tidak berguna. Kelahiranmu adalah kesialan buatku!" maki Reta penuh kekesalan.

Air mata langsung mengalir deras di pipi Mayla. Ia selalu merasa sakit, jika ibunya menyebut bahwa kelahirannya adalah sebuah kesialan. Penolakan Mayla, pasti akan berujung makian dari ibunya. Karena merasa tidak tahan, Mayla berlari menuju kamarnya yang berada di lantai atas, dan menumpahkan tangisnya di atas kasur. Seperti garam yang ditaburkan di atas luka, seperti itulah perasaan hati Mayla sekarang.

Reta yang mendapat penolakan dari putrinya terkait masalah uang, ia segera menyambar kunci mobil, dan berniat pergi dari rumah untuk meluruhkan kemarahannya. Emosinya akan makin menggunung, kalau keinginannya tidak tercapai, apalagi jika melihat wajah Mayla muncul dihadapannya, selalu menimbulkan amarah dan kebencian. Kecuali jika Mayla bisa memberinya banyak uang, ia bisa tenang.

Perasaan Mayla berangsur tenang setelah menangis, gadis itu pun segera bangkit dari tidurnya, dan turun dari ranjang, berjalan menuju tepi jendela. Di sini kamar masa kecilnya, sampai ia remaja, dan tumbuh dewasa. Kamarnya selalu menjadi saksi kesedihannya, jika hidupnya tidak pernah bahagia. Perlahan Mayla membuka jendela, angin menerobos masuk menerpa wajahnya.

Menghalau Serpihan LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang