4. The Rain with A Beautiful Bow

16 3 3
                                    

Setelah aku menyewa sepeda cantik berwarna merah dengan keranjang lucu didepannya, aku meletakkan tasku di keranjang itu, dan mulai mengayuh sepedaku perlahan.

Mulanya aku belum seimbang, namun lambat-laun aku mulai terbiasa dan mulai melaju. Aku menelusuri pinggir Sungai Han yang memantulkan cahaya langit berwarna keemasan menuju senja. Sungguh pemandangan yang sangat romantis.

Di perjalanan, sepasang demi sepasang kekasih mengayuh sepedanya mendahuluiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di perjalanan, sepasang demi sepasang kekasih mengayuh sepedanya mendahuluiku. Beberapa pasang juga berjalan kaki menelusuri indahnya pemandangan sore. Sungai Han memang adalah tempat terbaik untuk pasangan menikmati waktunya bersama. Sayang, aku hanya sendirian.

Pasangan-pasangan itu terlihat tertawa ceria dan tak segan menunjukkan kemesraannya. Ah indahnya. Suasana indah bersama dengan yang terkasih. Sempurna!

"Gimana ya bentuk cinta itu?"

Tiba-tiba pertanyaan itu terbersit dalam benakku.

Memang selama 16 tahun usiaku, rasanya belum pernah aku tahu rasanya jatuh cinta. Mungkinkah, cinta itu semenyenangkan kebersamaan para kekasih yang bersepeda kala senja di Sungai Han? Atau seindah pantulan cahaya senja di permukaan sungai? Entahlah. Yang ku yakini, cinta bisa membuat tempat biasa menjadi indah.

.

.

.

Setelah beberapa saat menelusuri sungai, tiba-tiba langit yang awalnya cerah keemasan kini menurunkan tetesan hujan. Masih terlihat sinar matahari di balik awan, tapi rintik hujan yang cukup lebat tetap turun dan mulai membasahi jalan. Aku cukup panik, dan itu membuat sepedaku kehilangan keseimbangannya, dan aku pun terpeleset jatuh.

Brukkk!!

"Aaww!"

Aku terduduk di jalan, dengan hujan yang semakin deras mengguyur tubuhku yang kini basah dan kotor. Aku mencoba mengangkat sepedaku, tapi terasa pergelangan kakiku yang sakit.

"Ah, sial!" umpatku.

Karena hujan, orang banyak di sekitarku cepat-cepat mencari tempat berteduh. Sehingga ketika aku jatuh, banyak dari mereka lebih memilih untuk menghindari hujan, dari pada membantuku yang terduduk lemas sendirian.

Tapi, tiba-tiba . . . .

"Gwaenchanha?"

Terdengar suara yang cukup berat, seperti bertanya padaku. Tapi aku tak tahu maksudnya.

Laki-laki yang muncul tiba-tiba itu, dengan segera mengangkat sepeda-ku dan meletakkannya di pinggir jalan. Kemudian ia mengambil tasku, memasukkan barang-barangku yang berserakan ke dalam tas, dan membantuku untuk berdiri.

Sepertinya kakiku terkilir sehingga cukup sulit untuk ku berdiri.

"Gwaenchanha?" tanyanya lagi.

Rainbow EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang