30. Kata Papa

11 2 0
                                    


Perang dingin antara Jefran dan Aruna berlangsung cukup lama. Selama itu pula tidak ada interaksi berarti dari keduanya. Jefran tidak berusaha menjelaskan dan Aruna yang terlalu tidak mau tahu tentang kebenarannya. Hingga waktu libur Jefran usai, Jefran kembali ke Amerika bersama Venita tanpa ada sesal telah mendiami Aruna dalam waktu panjang. Laki-laki itu melangkah menapaki lantai bandara dengan santai, seperti tidak ada beban akan meninggalkan tanah air, meninggalkan perempuan yang masih menyandang status sebagai kekasihnya tanpa penjelasan apalagi salam perpisahan.

"Jef, nggak ada yang ketinggalan?" Venita menggeledah tas tangannya sembari memastikan Jefran tidak meninggalkan sesuatu sebelum keberangkatan mereka.

Jefran menggeleng, lalu dengan ringannya tangan Jefran membelai belakang kepala Venita, mengelus pelan surai gadis itu yang tergerai. Rambut Venita menjadi lebih panjang dibanding saat pertama kali mereka bertemu. Jefran suka perempuan berambut panjang, seperti Aruna.


"Jadi mau disusulin nggak ini teh, heh?!"

Bagas berseru geram dari ambang pintu kamar Aruna. Tangannya bersedekap di depan dada, menyaksikan Aruna masih saja duduk menghadap laptopnya. Sejam lalu Aruna menelpon dengan nada marah-marah tentang Jefran yang hari ini kembali ke Amerika tapi tidak mengabarinya sama sekali. Bagas hanya bisa diam selama panggilan tersambung kemudian segera bergegas menuju kediaman Alfarellza memastikan adik sepupunya masih waras.

Bagas satu-satunya kontak yang dapat Aruna hubungi, karena tidak mungkin menghubungi Emilio yang sedang sibuk menyusun laporan akhir praktik akbarnya, tidak mungkin juga menghubungi Joni yang sudah beda Negara, apalagi Dika yang ada Aruna hanya akan diolok-olok sambil ditertawakan hingga hilang sadar olehnya.

"Nggak mau!" Aruna menahan tangisnya dengan kuat. Suaranya sudah bergetar, mata dan hidungnya juga sudah memerah. Bibirnya mengerucut menandakan ia sedang kesal.

"Yaudah nanti kalo udah beneran minggat jangan marah-marah ke gue." Bagas semakin kesal. Ia tidak pandai membujuk perempuan, jujur saja. Karena upaya membujuk tidak berlaku untuk Aqilla, gadisnya tidak pernah merajuk hebat seperti Aruna begini.

"Bodo!" pertahanan Aruna runtuh, air matanya mengalir deras tanpa bisa ia kendalikan. Pandangannya mengabur menatap layar laptop yang masih menampilkan foto Jefran dan dirinya.

"Makanya kurang-kurangin itu gengsi. Kangen ya bilang kangen, marah ya bilang marah, jangan diem doang kerjaan. Mana paham si Jefran kalo lu ga ngomong."

"Ya karena percuma juga kalo gue ngomong. Jefran bukannya bujuk gue, dia malah ikutan marah. Akan selalu begitu sampai gue yang harus mengalah. Selama ini gue yang terus ngalah, Bagas. Dia cuma mau di mengerti tanpa mau mengerti."

Tangis Aruna semakin hebat. Bagas tidak sampai hati membiarkan adik sepupunya menangis sesegukan memeluk lututnya sendiri. Sepertinya ada banyak hal yang tidak Bagas tahu, Aruna menutupi semuanya dengan baik. Menjadi terlihat baik dibalik luka yang ia derita.

"Oke kalo lu nggak mau ketemu. Setidaknya telpon dia, buat dia ingat masih ada lu disini."

Suara sambungan panggilan menggema di dalam kamar Aruna. Pintu kamar sudah Bagas tutup rapat saat masuk kamar. Masih mendekap Aruna dalam pelukan dan sentuhan menenangkan, Bagas berusaha menghubungi Jefran.

"Dia pasti udah masuk pesawat, atau mungkin udah take off. Ah, gue bahkan nggak tau jam keberangkatan dia. Gue pacar macam apa sih?!" Aruna merutuk pada dirinya sendiri.

"Ini terhubung kok, tunggu sebentar lagi. Dan jangan pernah menyalahkan diri lu sendiri kayak gitu. Lu nggak sepenuhnya salah. Bukan karena lu adek gue, tapi karena lu memang nggak sepenuhnya salah disini. So, stop blaming yourself."

USAHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang