3. Kesepakatan

275 57 212
                                    

Casandra sedari tadi masih diam tak bersuara, memperhatikan wajah anak lelaki yang duduk di hadapannya sembari mengalihkan wajah.

Sudah cukup lama sejak terakhir ia melihat bocah SMP yang selalu menangis kabur dari rumah. Dahulu Casandra akan menemukan anak itu bersembunyi di toko kelontong milik pamannya.

Dan dirinya sedikit terkejut karena akhirnya bertemu kembali dengan anak itu. Syukurnya kondisi dia terlihat lebih membaik.

Sejak dulu Casandra berkeinginan mengangkat Cakra sebagai anak, terlebih semenjak putranya yang meninggal karena penyakit leukemia.

Setiap kali melihat Cakra, Casandra selalu merasa jika putranya pun ada di dekatnya.

“Syukur sekarang lebamnya nggak terlalu banyak,” ujar Casandra.

Cakra menoleh dan tersenyum tipis.

“Kamu bahagia?” imbuhnya menatap sendu.

“Aku selalu bahagia,” jawab Cakra dengan wajah meyakinkan.

“Sejujurnya Tante mau ajak kamu buat ketemu seseorang. Tapi, Tante nggak yakin dia bakal baik-baik aja.”

Suara helaan nafas yang keluar dari mulut Casandra seakan memberi kejelasan jika itu memang bukanlah perkara kecil yang mudah.

“Pulang ke rumah Tante kalo kamu udah nggak sanggup,” ujar Casandra mengusap tangan Cakra.

“Setelah waktunya tepat, Tante bakal kenalin kamu sama orang itu.”

• • •

Cukup lama Ben berdiri di tengah hamparan pemakaman—melihat Sienna yang hanya terdiam mematung memandangi batu nisan mendiang ibundanya.

Ia berhasil menghentikan Sienna yang berencana mabuk-mabukan dengan membujuknya menemui sang ibu.

Entah sehancur apa gadis itu hingga kehidupannya sudah tidak teratur lagi.

Ben dengan setia menunggu, membiarkan Sienna puas bersama pusara ibunya.

Hingga ia melihat tangan gadis itu mengeluarkan sebuah benda metalik dari dalam kantung jaketnya, membuat Ben dengan sigap berlari dan merebutnya dari tangan Sienna.

“Lo gila! Apa-apaan sih, ha!” bentak Ben mengambil paksa pisau tersebut hingga tangannya terluka akibat tergores mata pisau.

Sienna nampak menghembuskan nafas gusar dan berdiri menatap Ben.

“Kenapa lo selalu muncul di hadapan gue sih!?” sarkasnya. “GUE CAPEK! GUE MUAK SAMA MUKA LO!”

Sienna berucap tanpa berpikir.

Meski perkataannya cukup menyakitkan, Ben mengerti dengan keadaan Sienna yang membuatnya terkadang sedikit hilang akal.

Ben lantas membuang pisau tersebut ke tanah dan menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.

Sienna berontak. Namun Ben semakin mengeratkan tangannya.

“Gue nggak akan hidup tenang sebelum semua pembunuh Bunda mati!”

Isak tangis perlahan dapat Ben dengar. Rintihan pilu yang turut menyakiti hatinya. Ia merasakan Sienna menenggelamkan wajah di bahunya.

SIENNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang