"JEAAAN!"
Neraka adalah saat mereka dengar suara Naka tanpa aba-aba. Saat sepuntung rokok masih menyala di antara selipan jari tengah dan telunjuk, dengan asbak penuh puntung rokok. Keduanya rusuh. Bergegas membuka jaket yang masih dikenakan. Sampai tersisa kaus lengan pendek yang entah kebetulan macam apa, warna nya sama. Putih.
Gerakannya seperti supersonic. Menyembunyikan asbak dan rokok di tempat teraman pojokan kamar yang tidak pernah Naka perhatikan keberadaannya. Bergegas membuang puntung yang masih setengah panjangnya. Tidak ada waktu untuk habiskan batang nikotin itu. Mereka harus berjuang untuk menyelamatkan nyawa.
Keduanya heran, kenapa tidak mendengar suara mobil ayah masuk pekarangan sama sekali. Padahal jelas mereka berada di balkon kamar Jean yang menghadap langsung ke gerbang masuk rumah. Agaknya, pembicaraan tadi terlalu serius hingga membuat Zayn dan adiknya lupa sekitar.
"Mampus...mampus...mampus! Pokoknya kalau ketauan si bocil gue bakal bilang ini rokok punya lo, Bang."
Zayn yang mendengar itu melotot tidak terima dan menoyor kepala adiknya keras, bikin Jean mengerang, "Punya lo juga, ogeb. Nggak mau lah gue dieksekusi sendirian."
Langkah Naka semakin mendekat, padahal mereka tidak bisa mendengarnya karena jarak dari pintu kamar ke balkon lumayan jauh. Maklum, kamar Jean kan luas. Sampai satu gebrakan pintu terbuka.
"Jean!" lagi, namanya yang dipanggil buat Jean maupun kakaknya mengernyitkan alis.
Tapi begitu masuk kamar, bukannya masuk ke dalam pelukan Jean si bungsu malah menjatuhkan tubuh ke pelukan Kasur. Bercanda, Naka tidak semanja itu kok. Tapi betulan, dia sekarang malah menelungkupkan tubuh dan menyembunyikan wajah pada bantal di kasur kembarannya.
Jean dan Zayn saling bertatapan. Bicara tanpa suara, menerka siapa gerangan yang membuat si manja Adyatama ini merajuk. Lalu tak lama mereka melihat bunda menyusul ke kamar anak kembar sulungnya. Tapi berhenti di mulut pintu saat melihat dua putranya ada di sana.
Dengan gestur yang seolah mengatakan, "Buna serahin ke kalian ya anak-anakku. Fighting!" Yang artinya mereka harus bertanggung jawab mengembalikan mood si bungsu. Padahal bukan mereka pelakunya. Lagipula, aneh sekali Nayaka. Pulang berkunjung dari rumah saudara kok malah merajuk.
"Heh, kenapa?" tanya Jean pelan-pelan. Tapi tidak ada jawaban.
"Dek, jangan tengkurep gitu. Engap nanti." Giliran si abang yang cari peruntungan. Tapi masih tidak ada jawaban. Malah ujung telunjuknya yang mau menyentuh tulang pundak kurus itu dihentak keras.
"Ngomong, Na! Gua bukan cenayang. Nggak akan paham lo kenapa kalau lo diem begini."
Jean mengernyit saat merasakan hawa panas menyengat ke tangannya ketika dia mencoba untuk memaksa bayi besar itu membalik badan. Pantas, Jean paham sekarang. Adiknya memang sering bertingkah aneh kalau sedang sakit, ingat?
Lagi, bocah itu menyentak tangan yang memegang pundaknya buat Jean dan Zayn menghela napas. Karena merasa pengap juga lama-lama menyembunyikan wajah begitu, akhirnya Naka mengangkat kepala dan menoleh ke sebelah kiri. Tempatnya Jean.
"Sebel sama ayah," katanya dengan mencebik. Matanya berkaca-kaca.
"Gue lagi main sama mas Nata dipaksa pulang. Itu gue udah hampir menang, Jeeeen. Taruhannya lumayan, jam tangan Garminnya mas Nata."
Dengan sabar Jean menanggapi, "Dipaksa pulang kenapa?"
"Mau ketemu klien katanya. Tapi masa ketemu klien malem-malem sih? Kesel Jeaaan."
Zayn tambah pusing lihatnya, rasanya semua orang di rumah ini stok sabarnya banyak sekali karena punya anak bungsu macam Naka. Perubahan mood-nya parah sekali. Hal sepele seperti ini saja bisa buat dia galau berhari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate
Teen FictionTuhan tutup aibmu, tapi kamu membukanya sendiri. Sempurna mungkin nampak, tapi busuk tercium baunya. Kamu terlihat baik-baik saja tapi hatimu lebur sampai jadi serpihan. Tapi kamu selalu punya sesuatu untuk bertahan, meski itu sangat rentan. - Deli...