Naka terbangun dengan dadanya yang terasa sesak, dan lemas. Padahal masker oksigen masih bertengger menutupi mulut dan hidungnya. Matanya terbuka sayu dengan menatap ke langit-langit kamar yang dia kenali milik Arjuna.
Keberadaan si pemilik tak dia dapati eksistensinya. Setelah sibuk mengkhawatirkan adiknya semalaman, Arjuna mungkin tengah mencari udara segar di luar. Kondisi Naka sama sekali tidak bisa dikatakan baik. Saturasi oksigen dalam darahnya bahkan turun hingga di level 75 persen kemarin sore membuat Arjuna jelas kelimpungan ke sana kemari menghubungi dokter dan menyiapkan segalanya.
Ponsel di atas nakas terus berdering keras. Layarnya bilang itu sudah panggilan ketiga yang tidak terangkat. Si pemilik entah di mana meninggalkan seorang lain yang terusik dari mimpinya. Merasa terganggu, Naka lantas berdiri dan mengambil benda persegi Panjang itu dan menerima panggilannya.
"Arjuna anjing lo ke mana aja sih!" Dahinya mengernyit saat mendengar suara yang jelas dia kenali memaki dari seberang sambungan. Tapi kalimat selanjutnya yang keluar membuat lututnya melemas dan kedua tungkai tak bertenaga saat dengan jelas dia dengar Chandra berseru panik, hal yang sangat jarang terjadi karena sebenarnya Chandra adalah orang dengan pengendalian emosi luar biasa baik.
"—Jean kritis di rumah sakit! Dia dikerjain si Gilang. Demi Allah gue gak rela, Jun. Gue bunuh anak itu, liat aja. Anjing!"
Matanya bergetar, mencari pegangan untuk tubuhnya yang tiba-tiba limbung, hilang keseimbangan. Napasnya memberat, perutnya mual seperti diaduk dari dalam. Lidahnya terasa pahit dan kepalanya berputar. Naka mendapat serangan panik dan hampir saja asmanya kambuh bersamaan. Kalimat yang berulang di kepalanya hanya Jean dan kritis. Apa yang terjadi? Bukannya Chandra bilang Jean aman bersamanya? Bukankah kakak kembarnya itu hanya sedang menyembuhkan hati di basecamp basket seperti biasa? Lalu, kenapa tiba-tiba begini?
Suara Chandra di seberang tak lagi terdengar karena hanya dengung di telinga yang membuat kepalanya pening yang bisa didengarnya. Naka mencoba mencari kembali fokusnya, dia harus tahu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri kondisi Jean. Dengan satu tangan bertumpu pada nakas, akhirnya dalam dua menit percakapan itu Naka angkat suara.
"Rumah sakit mana?"
"Jun, jangan sampai Naka tahu d-dia pasti— Naka?" Saking paniknya Chandra bahkan tidak sadar kalau dia sedari tadi bicara dengan satu-satunya orang yang paling dia hindari untuk tahu soal kondisi Jean.
"Shit," ujarnya kemudian.
"Na, tenang ya? J-jean aman kok. Lo jangan panik, oke?"
"DI RUMAH SAKIT MANA, CHANDRA?"
Dia berteriak dalam satu tarikan napas. Dadanya kembang kempis menahan sesak dan pandangannya memburam. Sumpah mati Naka benar-benar tidak lagi bisa menahan dirinya untuk tidak membentak Chandra.
"Na, listen. Calm down, okay? Breathe. Do you have your medicine?"
"Chan, please... Jean di mana?"
"I will tell you later, when Ajun comes. Okay? Kasih hapenya ke Ajun, ya Naka ya?"
"For god's sake, Chandra if you don't tell me where he is, gue bakal kelilingin semua rumah sakit di Jakarta."
Kembali Chandra mengumpat di sana, karena selain Jean dia bisa mengklaim dirinya sebagai orang yang paling mengerti betapa seorang Nayaka bisa menjadi sangat nekat di waktu tertentu.
"Di Neo, lo jangan ke sini sendi—"
Tidak mendengar lebih jauh, sambungan diputus sepihak. Naka berlari menuju pintu kamar dan pergi dari sana. Sedikit warasnya sadar kalau dia tidak mungkin berlari hingga ke rumah sakit dan memilih untuk memutar langkah ke pintu belakang yang terhubung dengan garasi untuk menemukan beragam kunci mobil yang tergantung apik di dinding sebelah pintu. Mengambil satu secara acak, yang syukurnya dia sangat tahu mobil mana yang menjadi pasangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate
Teen FictionTuhan tutup aibmu, tapi kamu membukanya sendiri. Sempurna mungkin nampak, tapi busuk tercium baunya. Kamu terlihat baik-baik saja tapi hatimu lebur sampai jadi serpihan. Tapi kamu selalu punya sesuatu untuk bertahan, meski itu sangat rentan. - Deli...