Pintu tak bersalah itu dibanting keras. Si pelaku berusaha keras untuk segera turun dari mobil tanpa terjatuh karena ceroboh. Setengah berlari, melangkah lebar-lebar supaya cepat sampai di pelataran rumah yang kalau dalam keadaan kesal begini terasa sangat jauh. Meninggalkan seorang lain yang juga sama menggeram marah. Kebiasaan Naka itu jelek sekali kalau sedang emosi, suka membanting sesuatu.
Setelah kejadian hampir berkelahinya Jean dengan Jilan, tidak ada satupun kata yang menguar dari bibir kedua bungsu itu. Jean memilih diam, tapi tangannya terkepal mencengkeram kemudi meredam marah. Masih segar di ingatan terakhir kali dia mendebat Naka dalam keadaan emosi hasilnya tidak baik. Di lain sisi, Naka memilih diam saking kesalnya. Dia pun paham kalau bicara tidak akan membuahkan jalan keluar.
Korban kekerasannya tidak cuma pintu mobil Jean saja, tapi pintu besar rumah mereka yang menjeblak kasar juga. Zayn yang duduk-duduk santai menikmati luang jelas kaget. Niatnya, memang dia juga menunggu Naka untuk diajak makan malam. Tapi melihat si bungsu pulang dengan wajah memerah dan langkah cepat, bikin dia urung utarakan niat.
"Eh adeknya Abang udah pu— lah, nyelonong ae bocil."
Lalu Jean masuk dengan wajah tidak kalah sangarnya. Buat Zayn menciut sendiri. Adik sulungnya ini kalau sedang mode preman bisa buat Zayn tak kuasa untuk sekadar menegur. Tapi sih, Jean kalau marah itu diam. Seperti air yang tidak beriak tapi alirannya deras di dalam. Tepuk tangan untuk kesopanannya karena dia bahkan masih sempat menutup pintu rumah di tengah kekesalan hatinya. Tidak seperti Naka.
"Jen, si adek kenapa?" tanya Zayn memberanikan diri.
Jean cuma mendelik, tak ada niatan menjawab dan langsung berlalu begitu saja. Tarik lagi kata-kata soal Jean dan kesopanannya. Karena itu kadang tidak berlaku buat Zayn. Nasib punya dua adik titisan setan ya begitu. Poor Zayn, mereka bahkan tidak ada yang sekadar berhenti untuk menyapa dan menanyakan keadaannya yang sedang terluka. Menatap nanar kakinya yang dibalut gips, kan abang jadi sedih. Lebay.
*
Perang dingin itu masih berlanjut sampai malam, Naka yang merajuk bahkan menolak untuk turun dan makan malam bersama keluarganya dan memilih pura-pura tidur saja saat dipanggil. Sepanjang waktu makan malam, telepon pintarnya terus berdering, panggilan dari Zayn yang akhirnya menyerah tanpa hasil. Padahal, sampai tengah malam begini saja dia masih gelindingan di kasur besarnya akibat resah. Iya, pikiran-pikiran buruk dan bayangan dua minggu mencekam akibat perang dingin dengan Jean gantian berkelebatan dalam kepala. Buat dia tak kuasa sekadar memejamkan mata.
Naka menghela napas, dadanya jadi agak berat gara-gara beban hidup. Berkali-kali mencari posisi nyaman agar napasnya lebih lapang. Bahkan sudah menumpuk tinggi bantal tidurnya, tapi tak membantu banyak. Tiba-tiba mengubah posisi menjadi duduk. Mengambil inhaler dari laci nakas di samping ranjang besarnya. Menatap dalam-dalam benda yang sudah menjadi hidup keduanya sejak lama, seolah mengajaknya berdiskusi sambil memutar-mutar benda dengan warna biru itu. Menghirup obat di dalamnya beberapa kali sampai dadanya sedikit terasa lapang. Baiklah, dia sudah memutuskan kalau hidupnya nggak akan tenang selama dia dan Jean masih musuhan. Jadi dengan segala kerendahan hati dan gengsi yang sudah dia tekan sampai ke dasar bumi, Naka mengendap masuk ke kamar serba biru-hitam punya kakak kembarnya.
Dia masuk tanpa mengetuk. Di sana dia bisa lihat, Jean yang tidur menyamping membelakangi pintu. Berdecak saat dia lihat selimut bahkan jauh dari jangkauan kaki. Kebiasaan Jean yang gampang gerah. Padahal AC ruangan mengembus keras. Beda sekali dengan Naka yang kalau tidur suhunya di set di 28 derajat supaya tidak kedinginan. Plus dia masih pakai selimut tebal juga.
Naka sudah merebahkan tubuh di samping kembarannya. Menatap punggung tegap yang selalu jadi tameng buat dirinya. Dilihat dari belakang seperti ini, membuat Naka emosional sendiri. Betul kalau dipikir, sudah banyak sekali hal yang Jean lakukan demi menjaganya. Sekecil perkara berkendara. Jean itu suka sekali naik motor, tapi demi Naka dia rela mengendarai mobil kemanapun mereka pergi. Meninggalkan hobi ngetrail nya supaya punya waktu lebih banyak buat adiknya. Tidak cukup sampai di situ, Jean bahkan jarang menggunakan Starla, mobil kesayangannya, Si Jeep Rubicon putih yang selalu Naka tuduh sebagai mobil penculik, hanya karena Naka tidak suka. Jadi, sangat wajar sebenarnya kalau dia freak out saat Naka tidak dalam jarak pandang. Rasa bersalah makin membuncah. Naka jadi mau nangis rasanya. Patut dibilang, kejadian hari ini seratus persen salahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate
Teen FictionTuhan tutup aibmu, tapi kamu membukanya sendiri. Sempurna mungkin nampak, tapi busuk tercium baunya. Kamu terlihat baik-baik saja tapi hatimu lebur sampai jadi serpihan. Tapi kamu selalu punya sesuatu untuk bertahan, meski itu sangat rentan. - Deli...