08||Pengakuan Genta

112 13 0
                                    

Pagi harinya Arkanza sudah siap dengan seragam Sekolahnya. Keadaannya belum terlalu pulih, namun Arkanza tetap memaksakan. Bukannya apa, di Sekolah setidaknya dia tidak perlu untuk bertemu Dinanta sementara waktu.

Cowok itu berdiri didepan cermin. Menatap tampilannya disana. Helaan nafasnya berhembus gusar. Keadaannya sungguh kacau, dengan beberapa luka lebam bekas semalam.

Arkanza memilih membuka perbannya. Dia tahu lukanya belum sepenuhnya sembuh, saat dimana dia memegang kepala bagian belakangnya masih terasa lembab. Namun, hal yang tidak mungkin jika dia ke Sekolah, dan membuat anak Graxda mengkhawatirkannya. Terlebih lagi, Arkanza benci untuk terlihat lemah.

Saat Arkanza sibuk membuka perbannya, suara ketukan pintu dari luar mengalihkan fokusnya. Buru-buru dia menyelesaikan pekerjaannya, baru setelah selesai barulah dia membukakan pintu.

"Lho? Aden mau berangkat Sekolah? Kok Perbannya juga dilepas? Itu kan belum kering, Den." Ternyata bi Inem. Sama seperti semalam, dia membawa makanan sarapan untuk Arkanza.

Bi Inem tahu, bahwa Arkanza tidak akan pernah mau menyentuh meja makan ketika Dinanta sedang berada dirumah.

"Iya Bi. Soalnya kalau dirumah terus suntuk jadinya." Arkanza menggangguk kecil, mengambil alih nampan berisi makanan dari Bi Iyem.

"Ayah udah berangkat kerja?" Tanya Arkanza memastikan.

"Tuan Dinanta ada diruang kerjanya. Tuan juga minta bibi kasih ini buat Aden ." Bi Iyen mengeluarkan sebuah amplop dari seragam kerjanya.

Lama untuk Arkanza menerima amplop yang bibi sodorkan. Hingga akhirnya, dia tergerak untuk mengambinya.

"Kalau gitu Bi Iyen balik kerja lagi. Aden hati-hati berangkat ke Sekolahnya."

Arkanza hanya menggangguk. Kembali menutup pintu, namun gerakannya terhenti saat lengan seseorang menahan pintu agar tidak tertutup.

"Buka."

Raut wajah Arkanza kembali datar.
Saat pintu kembali dia buka, terdapat Dinanta yang berdiri didepannya dengan setelan kerja formalnya. Dibelakangnya, terdapat om Geril_sekretarisnya, dan juga satu orang Bodyguard yang bertugas untuk mengawal pria itu.

"Bicara seadanya aja. Waktu Rion nggak banyak." Terlihat Arkanza yang memalingkan wajahnya saat berbicara dengan Dinanta.

Bukan hanya semalam. Bayangan saat Dinanta memukulnya berkali-kali, hingga memuncak dengan kejadian semalam, membuat api kebencian semakin besar didadanya.

Dinanta menatap Arkanza penuh. Dia sebenarnya ingin melarang anak semata wayangnya itu untuk mengambil izin sakit dari pihak Sekolah. Namun, niatnya dia urungkan.

"Itu ayah berikan untuk seminggu ke depan. Jika kurang, kamu bisa meminta pada Ibu_."

"Rion nggak pernah beranggapan seperti itu. Dan jalang itu tidak akan pernah menjadi bagian dari Rion."

Raut tenang yang ditunjukkan Dinanta tadi, tergantikan dengan raut kesal saat Arkanza memancing emosinya lagi.

"Tutup mulut kamu. Selama kamu menjaga sikap, kejadian semalam tidak akan terulang lagi," ucap Dinanta menahan emosinya.

Hari ini, dia akan mengadakan rapat penting yang akan memberikan investasi kepada saham barunya. Jika dia meladeni Arkanza saat ini, bisa saja rapat penting ini akan tertunda. Yang membuat predikat Dinanta dimata koleganya akan menurun.

Dinanta melirik nampan yang Arkanza pegang. "Makan makananmu, dan berangkat ke Sekolah."

Setelah itu, Dinanta berlalu dari hadapan Arkanza. Disusul dengan dua orang kepercayaannya yang selalu mengikutinya kemanapun.

ArkanzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang